Bab 8 - Hari Minggu Dewa

1.5K 96 0
                                    

Dewa sudah selesai salat---hari ini minggu. Dia memutuskan untuk berjalan santai mengelilingi perumahan yang besar ini.

Dia melepas sarung dan baju koko yang masih dia kenakan. Dan diganti dengan pakaian olahraga yang pendek. Setelah itu dia keluar kamar dan menuju teras rumah.

"Jogging ah, sudah lama gak olahraga." Dewa memasang sepatunya sebelah kanan dahulu---dia kemudian bangkit dan menyingkapkan kaosnya.

Terlihat, perutnya yang mulai membesar. Walau masih berbentuk. Ya, memang setiap kebanyakan orang yang sudah menikah akan naik berat badannya. 

Karena beberapa faktor---biasanya karena terbebas dari pertanyaan-pertanyaan: kapan nikah? Juga bahagia ada yang mengurusi setiap harinya. Tergantung cara mereka menyikapi sebuah pernikahan itu sendiri.

Dewa berjalan keluar pagar---setelah mengunci pintu. Karena tidak ada orang lagi di rumah selain dirinya.

----

"Mulai minggu depan, kita akan ada program baru sahabat bintang." Nada mulai berbicara setelah menurunkan mixer yang sedang memutarkan lagu karya Andmesh Kamaleng dengan judul Hanya Rindu. 

Dia menatap kertas yang ada dipegang, membaca sekilas nama program yang baru saja di sodorkan oleh Bu Alma kepada dirinya di ruang siaran.

"Programnya berjudul Kisah Kasih Asmara, program ini untuk kamu-kamu yang masih galau tentang kisah cinta. Para penyiar akan mendengar sekaligus membacakan curhatan kalian. So, kita bertemu minggu depan ya!" Nada menaikan mixer dan lagu yang sama terputar kembali.

---

Dewa sudah berada di taman yang cukup luas---dia melakukan pemanasan dahulu. Sebelum berlari mengelilingi taman ini. Setelah memutari beberapa sudut di perumahan.

Namun, tiba-tiba dia dipanggil oleh seseorang. Yang sudah dia kenali suaranya.

"Pak Sadewa," Saqila datang menyapa Dewa yang berdiri di depan ayunan anak kecil.

Hari minggu taman perumahan cukup ramai entah penghuni blok mana saja---yang sedang berolahraga di sini.

"Mbak Saqila, tinggal di sini?" Dewa menyalami perempuan ini yang sudah dia ketahui namanya.

"Iya, saya di blok flamingo," Saqila menjawab dengan senyuman.

"Wah! Dekat dong? Saya di blok panda."

Dan, akhirnya mereka mengobrol berdua duduk di bangku-bangku taman. Saqila mengenakan rok pendek dengan sepatu berwarna putih.

Dewa tahu bahwa Saqila berusia baru dua puluh tahun, selisih empat tahun dengan dirinya. Masih berkuliah semester lima. Dia tinggal sendiri dengan ayahnya---ibunya sudah meninggal dunia.

---

"Wah! Sudah hampir pukul sepuluh. Waktunya Damara pamit, see you next time. Dan selamat beraktifitas." Nada memutar backsound khusus acara pagi. 

Kemudian dia digantikan oleh Tya yang sudah datang dari tadi pagi---satu jam yang lalu.

Dia keluar ruangan dan menuju ruang HRD untuk absensi pulang dengan tanda tangan.

---

"Jadi, kesibukan kamu hari ini apa?" Dewa berjalan di samping Saqila. Mereka masih berada di taman---tetapi tidak berolahraga.

Saqila memandang Dewa dengan tatapan suka, kemudian dia tidak melihat ada batu yang cukup besar di depan.

Akhirnya Saqila tersandung dan langsung ditangkap oleh Dewa---supaya tidak terjerembab ke tanah. Dewa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Hati-hati kalau jalan, kok fokus sekali melihatku." Dewa berbicara sambil membenarkan posisi Ila, supaya berdiri tegap.

"Habisnya kamu maskulin sekali, Pak." Ila memandang Dewa untuk kedua kalinya. Kali ini dari ujung rambut hingga kepala.

Tinggi mereka berdua hanya selisih beberapa sentimeter saja---Dewa 176, Saqila 170. Mendengar perkataan Ila barusan membuat Dewa sedikit besar rasa.

---

Nada baru sampai di rumah orangtuanya---ya, sesuai perkataan dia kemarin hendak main ke rumahnya yang asli.

Jarak tempuh antara Bintang Bersinar dan rumahnya di kampung hanya sekitar duapuluh lima menit---jika ditempuh dengan kendaraan dan tidak macet.

Dia membawakan nasi pecel, empat porsi untuk ayah, ibu dan adiknya---Gyo. Masih mengenakan baju siarannya tadi.

"Ibu selalu saja dengerin radio bintang sekarang, gak ada bosen-bosennya. Apalagi yang siaran pas Mbak Nada." Gyo menerima nasi pecel itu setelah mencium punggung tangan Nada.

Ibu mereka sedang membaca novel terbaru yang dia beli di toko buku bersama Gyo. Karya Dee Lestari dengan judul Aroma Karsa. Iya, keluarga Nada berasal dari keluarga pendidik.

Ayah dan ibu Nada mengajar di salah satu sekolah menengah pertama---satu tempat yang sama. Ayah Nada mengajar mata pelajaran matematika, ibu Nada biologi. Juga kesibukan lainnya yakni mengurus kos-kosan.

"Iya, kalau tidak ngajar pasti Ibu dengar radio. Dewa mana? Hari minggu masa kerja?" Ibu menutup bukunya dan menaruh di atas meja.

"Dia libur, tadi ngabarin dia mau olahraga di taman." Ya, ketika selesai siaran pada paruh pertama. Dewa mengabari Nada.

Ibu Nada mengangguk, kemudian berjalan untuk mengambil piring dan sendok. Ayah Nada sedang ada kegiatan bersama bapak-bapak kampung lainnya.

"Mbak tahu saja, kalau Gyo lagi laper." Gyo menerima piring dan sendok dari ibunya.

Gyo masih duduk di bangku SMA, dengan jurusan IPS. dia sangat suka dengan ekonomi dan akutansi. Bahkan ketika nanti kuliah dia ingin mengambil jurusan akutansi.

Nada hanya geleng-geleng melihat Gyo---yang mulai melahap nasi pecelnya.

---

"Habisnya kamu maskulin, Pak."

Dewa masih mengingat-ingat perkataan Ila tadi hingga sampai ke dalam rumah. Rumah masih sepi---dia sendiri.

Tadi setelah mengobrol cukup lama, Dewa dan Ila. Akhirnya pulang---meninggalkan taman pada pukul sepuluh pagi.

Ila tidak lupa mengirimkan atensinya di radio Bintang Bersinar FM---dia ada pendengar baru di radio yang berada pada frekuensi 73,6 itu.

Dia suka penyiar bernama Damara---walau seorang penyiar baru tapi sudah luwes berbicara. Tetapi dia tidak suka mengumbar kesukaannya mendengar radio ini kepada rekan kerja dan keluarganya.

Kata kebanyakan teman-teman Ila, mendengar radio itu kuno. Ketinggalan waktu. Padahal ada kesenangan tersendiri ketika atensi kita dibacakan oleh para penyiar radio.

Dewa tidak suka mendengar radio---dia lebih suka mendengar musik langsung di acara konser atau di kafe-kafe.

"Hei, Dewa ingat ada Nada," Dewa segera melupakan perkataan Ila tadi. Badannya capek, dia ingin mandi dahulu terus sarapan.

After the Sacred Marriage [Dewasa]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora