Bab 22 - Rumah Sakit

2K 114 4
                                    

Satu jam setelahnya

Adit, Erik, Alka, Tya, Sadewa dan Alma sudah berada di Rumah Sakit, jenazah Nada masih berada di ruang jenazah untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.

Ya, saat mobil polisi dan ambulance datang ke lokasi kejadian. Semua korban meninggal dunia di masukan ke kantung jenazah berwarna oranye. Truk dan kendaraan semua juga dibawa ke kantor polisi.

Dewa datang beberapa menit setelah Adit memberitahunya, dia melihat sendiri jenazah istrinya tergeletak di jalan raya dan berlumuran darah. Tidak ada tangis yang keluar dari mata Dewa.

Tidak sepeti orang-orang pada umumnya, bukan? Ketika ditinggal orang yang disayang, pasti akan meneteskan air mata. Walau termasuk orang yang susah menangis.

"Dewa," Adit mendatangi Dewa yang sedang duduk di lantai koridor rumah sakit.

Dewa duduk bersandar pada tiang, dengan tatapan kosong ke rumput-rumput di bawah kakinya.

"Dit," Dewa memeluk Adit sekilas.

Adit mengerti perasaan Dewa ditinggal oleh seorang istri itu bagaimana sakitnya, walau Adit belum mengalaminya sendiri.

"Aku tahu permasalahanmu dengan Nada, dengan seorang perempuan simpananmu bernama Saqi." Adit duduk di sebelah Dewa---sama-sama di lantai.

"Saqi? Kamu tahu dari siapa?"

"Waktu bisa memberitahu sendiri kebusukan atau rahasia buruk dari seseorang Wa, jangan lupa. Tadi malam, sebelum Nada mengalami kecelakaan. Aku bercerita kepada dia.

Soal kamu nonton di bioskop bersama seorang perempuan, kaget? Ya, saat itu juga aku sedang nonton dengan Yuli. Istriku tahu, kamu masuk ke studio satu dengan seorang perempuan. Kami masih menunggu waktu masuk ke studio tiga."

Adit berdiam sebentar, dia menatap Dewa yang sedang diam tanpa merespon pembicaraan atau perkataan Adit. Adit menghela napas, dia melanjutkan bicaranya.

"Tahu, nggak?" Adit menepuk pundak Dewa.

Dewa menoleh ke arah Adit yang melihatnya, "apa?"

"Orang yang menyobek tiketmu itu teman Nada, ketika dia MOS di kampus. Erik." Adit dan Dewa mendengar langkah seseorang ke arahnya.

Mereka berdua menoleh, dan Erik berdiri berjalan duduk di rumput hijau dan berhadapan dengan Adit dan Dewa. Jam sudah menunjukan lewat tengah malam. Alka juga menyusul dan ikut duduk berhadapan dengan Adit juga Dewa.

Erik baru saja pergi dari ruang tunggu di depan kamar jenazah, tempat delapan orang mayat korban kecelakaan beruntun diselidiki.

Di sana, juga ada keluarga korban yang lain---mulai berdatangangan. Tya dan Alma sudah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu ke rumah duka.

"Yang dikatakan Adit benar, aku yang merobek tiket di studio satu saat itu." Erik memperhatikan Dewa dengan tatapan tajam.

"Kamu mungkin tidak tahu, Wa. Nada itu perempuan yang baik. Dia sering sekali membawakan kami camilan ketika dia dapat siaran pagi dan tidak pernah berhenti menyebut namamu dalam doa.

Walau kita semua tidak pernah berjamaah, tetapi dia sering bercerita kalau namamu selalu diantara orang-orang yang disayang. Ibu, Ayah dan Adiknya." Alka yang duduk disebelah Erik juga angkat bicara.

Dewa masih bungkam, begitu bersalahnya dia menyakiti hati Nada berkali-kali. Setelah apa yang dilakukannya bersama Saqila, tetapi Nada masih saja membawa namanya dalam setiap doa setelah sujudnya.

Dia juga merasa bersalah bahwa orang yang selalu berada disampingnya itu sangat mencintainya, tidak seperti Saqila yang hanya menginginkan tubuhnya.

After the Sacred Marriage [Dewasa]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora