Bab 38 - Menyesal

3.8K 126 6
                                    

"Loh, kok kamarnya terkunci?" Dewa masih mencoba mengetuk pintu kamar Saqila, tetapi tidak ada respon di sana.

Semarah-marahnya Dewa, dia masih bisa sadar kalau Saqila adalah istri sahnya. Baik agama juga negara.

Dewa terus mengetuk kamar Saqila, berkali-kali. Tetapi tidak ada respon dari dalam. Dia tidak mau menggunakan waktunya secara sia-sia.

"Pasti di resepsionis punya kunci gandanya," ucap Dewa seraya berjalan menjauh.

Tergesa-gesa berlari, bahkan lift yang ada itu tidak digunakan. Karena posisinya lama. Dewa memilih menggunakan anak tangga---sebagai akses darurat ketika ada bencana.

Untungnya tangga darurat itu sepi dari pengguna, Dewa bisa lari sekencang yang dia bisa. Hingga menyentuh lantai satu, napas Dewa benar-benar tersenggal-senggal.

"Permisi," Dewa sudah sampai di depan meja resepsionis.

"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" Perempuan yang berjaga itu berdiri.

"Kok kamar, Ibu Saqila terkunci ya?" Dewa bertanya sekaligus memastikan.

Penjaga itu sama bingungnya dengan Dewa. Dia tidak tahu menahu perihal ini. Memang, kalau ruangan VIP bisa dikunci oleh penghuni. Beda dengan pasien yang berada di kelas biasa.

Dewa masih meperhatikan penjaga itu---mengecek kamera pengawas yang berada di dalam kamar. Layar besar itu menghadap ke arah Dewa---para tamu.

Dan, terlihatlah di dalam ruangan milik Saqila---satu layar penuh.

"Kamarnya sepi, Pak. Bapak mau masuk ya? Apa saya kasih kuncinya? Kalau boleh tahu, bapak siapanya?" Perempuan itu melihat kegusaran yang muncul di wajah Dewa.

Apa Saqila kabur? Kenapa gak bilang? Kalau kabur pasti dari pihak rumah sakit pasti tahu? Ini? Batin Dewa bergejolak.

"Pak?" Ucapan penjaga resepsionis tadi menyadarkan dirinya dari lamunan yang masih terus mengganggu.

"Ya, saya suami sahnya Ibu Saqila," jawab Dewa.

Penjaga itu langsung mencarikan kunci cadangan yang ada di sebuah loker pada sudut ruang resepsionis berbentuk segi empat ini.

Dewa melihat ke arah penjaga itu yang menurutnya sangat lambat dalam bekerja---padahal dia sudah bekerja sesuai dengan waktunya. Ya, Dewa sangat mengira waktu kali ini lambat berputar.

"Ini, Pak." Penjaga itu memberikan kunci yang sudah ada tulisan kamar yang ditempati Saqila.

Dewa menerimanya langsung bergegas maju, meninggalkan ruangan ini tanpa mengucapkan terima kasih.

Penjaga itu hanya menggelengkan kepala, melihat tingkah laku Dewa yang seperti sedang memburu seorang buronan. Buronannya adalah istrinya sendiri.

Pengguna lift untungnya tidak banyak---kosong di lantai dasar. Jadinya Dewa tidak perlu mengantre lama, memang suasana malam ini sangat sepi dari pengunjung pasien.

Hanya segelintir orang yang hilir mudik, membawa makanan yang dia beli di kantin bawah, atau juga luar area Rumah Sakit Separuh Hati.

Ketika berada di dalam lift, dan kotak akan berjalan ke atas. Tiba-tiba terbuka kembali. Ada sepasang orangtua sedang menggendong bayi mungilnya.

Andai saja hubunganku dan Saqila seharmonis mereka. Batin Dewa sambil memperhatikan satu keluarga muda ini masuk. Dewa bahkan mendapatkan senyuman dari sang perempuan.

"Bapak ini yang di ruang VIP bukan?" Tanya laki-laki itu.

"Iya, istri saya di sana," Dewa menjawab pertanyaan dan melihat ke arah belakang. Tempat mereka berdiri.

After the Sacred Marriage [Dewasa]Where stories live. Discover now