Chapter 39

8.7K 495 24
                                    

Playlist : Taylor Swift - Exile

Playlist : Taylor Swift - Exile

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


🕚 Udah hampir tengah malam!

|HAPPY READING|

Vote dan sertakan komentar kaliaaann

🌷🌷🌷

Alaric bergerak cepat membopongnya. Susah payah membuka pintu mobil dan berhasil tak lupa memasangkan seatbelt untuk Richelle yang masih jatuh pingsan. Kening gadis itu berkerut samar.

Alaric hampir sesak napas dengan pertemuan yang seperti ini. Kenapa ia harus melihat Richelle dalam keadaan sakit? Ia amat sangat cemas.

Mobil melesat dengan kecepatan tinggi namun tetap fokus untuk hati-hati. Sesekali ia menoleh pada wajah pucat gadis yang terduduk lemah di sampingnya. Satu tangannya terulur untuk menggenggam tangan Richelle yang terasa dingin. Tidak bisa berbohong bahwa ia sangat khawatir dan ketakutan bila terjadi sesuatu pada gadisnya ini. Dikecupnya dalam-dalam punggung tangan itu penuh kasih sayang.

Selang lima belas menit mereka pun sampai di rumah sakit terdekat yang masih berada di bawah naungan Frederick Hospital.

Dibiarkannya dua orang suster membawa hospital bed Richelle ke dalam ruangan yang juga diikuti seorang dokter wanita.

Alaric menghela nafas kasar. Tangannya terkepal kuat, ia meremas rambutnya gusar. Alaric menunggu tanpa duduk di kursi yang tersedia, berjalan bulak balik di depan pintu dengan harap-harap cemas.

Tidak sampai dua puluh menit pintu itu pun terbuka bersamaan dengan dokter yang muncul ditemani para suster yang tadi membantu.

"Bagaimana kondisinya? Apa dia baik-baik saja?"

Dokter itu tertegun ketika pasang mata Alaric menatapnya tajam efek dari kecemasan juga rasa tidak sabarannya.

"B-baik. Pasien hanya kelelahan," wanita bersineli putih itu berdehem pelan untuk mengurangi kegugupan sebelum melanjutkan ucapannya. "Dalam keadaan perut kosong memang tidak baik jika terus bekerja tanpa istirahat pula. Pasien juga mengalami dehidrasi ringan. Untuk itu, kami sudah menginfusnya."

"Terimakasih, Dok. Aku harus melihatnya."

Dokter itu mengangguk sopan. Bergeser untuk memberinya jalan. Langkah cepat pun Alaric ambil menghampiri Richelle yang masih tertidur pulas.

Alaric duduk di sisi ranjang pasien dengan hati-hati agar pergerakannya tidak mengusik Richelle.
"Bangun, sayang. Jangan membuatku cemas." Ucapnya tulus seraya mencium dalam pada keningnya.

Ditatapnya lamat-lamat wajah yang amat sangat ia rindukan. Melihatnya secara maya tentu saja tidak cukup. Mengamatinya dari jauh begitu menyiksanya.

Ia beranjak lalu merogoh saku celananya dan mengambil benda persegi panjang untuk menghubungi seseorang. Devano.

𝙾𝚞𝚛 𝙳𝚎𝚜𝚝𝚒𝚗𝚢 (#𝟸 𝙴𝙳𝙼𝙾𝙽𝙳 𝚂𝙴𝚁𝙸𝙴𝚂)✓Where stories live. Discover now