Bag 39

173K 25.4K 2K
                                    

Selamat membaca teman-teman

¥¥¥¥¥¥¥¥

   Hera terbangun dari tidur nyenyak nya ketika merasakan sinar sang surya mengenai wajah cantiknya. Tubuhnya lantas menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Menoleh ke samping dan melotot.

"Pantas saja, seperti monyet."

"BUAKHHH!" Hera berteriak, reflek turun dari ranjang, memasang pose kuda-kuda, bersiap menyerang.

"Kau siapa? Aku siapa? Kita dimana?" Sentak Hera. Lalu kepalanya menggeleng mengumpulkan kesadaran paginya yang biasanya tiba-tiba saja hilang.

"SILAS!"

"Kenapa kau di kamarku?!" pekik Hera kencang, berkacak pinggang.

Silas yang tengah duduk tenang di atas ranjang langsung bangkit, berdiri bersedekap dada.

"Kau lupa, ini kamarku. Kita sudah di Seatland." Ucap Silas.

Hera langsung memindai sekeliling, ranjang, kursi, laci, lemari, semuanya tampak berbeda. Beberapa detik kemudian, matanya langsung menatap Silas tajam.

"Sialan, kenapa kau tidak membangunkan ku kalau sudah sampai!" Pekik Hera.

"Mungkin jika aku lempar ke danau, kau juga tidak akan bangun." Ujar Silas, Hera melotot kesal.

"Aku tidak separah itu. Pasti kau cari kesempatan menyentuhku yah?! Akh jangan-jangan aku sudah tidak perawan!" Curiga Hera memicingkan matanya.

Silas menyeringai. "Belum. Kau mau kita melakukan nya sekarang?"

Hera mengangkat dagunya, berdecih lirih. "Ck, wani piro?"

Dahi Silas tampak mengkerut bingung mendengar ucapan Hera. "Pilo wani?"

"Hish, orang-orang ini tidak akan mengerti bahasa ajaib ku." Gumam Hera, memutar bola matanya.

"Ish, sudahlah. Karena ini kamarmu aku harus pergi sekarang, aku mau cari kamar lain saja!" ucap Hera, berjalan meninggalkan kamar Silas.

BRAK

Silas mengedihkan bahunya, lalu berjalan ke arah ranjang memejamkan matanya tertidur. Karena dari semalam dia hanya terduduk di sofa, menatap wajah Hera sampai pagi.

___________

Hal paling menyebalkan di hari Hera pertama di Seatland adalah belajar tata cara untuk pernikahan besok. Gadis itu langsung di ajari oleh seorang wanita tua, yang katanya sudah mengabdi berpuluh-puluh tahun pada kerajaan.

"Bungkukkan badanmu dengan benar nona Hera!" Hera menghela napas lelah, sudah satu jam dia belajar membungkuk, namun Hera tetap saja terlihat kaku, mirip seperi robot.

"Sekarang berjalan sampai ke depan sana dengan tegak, dan bawalah buku-buku ini di kepalamu!" titah wanita tua, yang biasa di panggil Beatrix.

Huah, aku tidak pernah melakukanya.

"Tapi---" sebelum Hera menyelesaikan ucapan nya, Beatrix langsung mengetukan tongkat saktinya ke lantai.

The Villainess (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora