Libur keluarga

1.4K 60 5
                                    

Aku menatap hamparan kebun teh yang membentang luas sejauh mata memandang. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur sekaligus takjub dengan ciptaan Allah yang sungguh luar biasa ini. Kali ini Mas Yusuf kembali mengajak dua keluarga berlibur di sebuah tempat yang cukup membuat pikiran menjadi tenang. Bukan hanya kami berdua yang kemari, namun ada dua keluarga yang turut serta yaitu keluarga ku dan juga keluarganya.

Mas Yusuf kembali memelukku dari belakang dan mengucapkan banyak sekali kalimat-kalimat cinta. Maa syaa Allah, aku bersyukur atas apa yang telah suami ku beri termaksud rasa cinta dan sayangnya padaku.

"Hari ini kita mau wisata kuliner bareng yang lain, udah siapin perut belum?" Tanyanya bercanda.

Aku terkekeh "Udah dong, bahkan dari seminggu yang lalu kamu ngomong siapin perut yah Nazwa kita mau wisata kuliner dan sampai hari itu tiba aku sudah benar-benar siap," jawab ku lalu membalikkan tubuh dan memeluknya.

"Cuaca di sini benar-benar mendukung kita untuk selalu berpelukan," ucap Mas Yusuf sembari mengeratkan pelukannya pada ku.

"Bahagia aku Mas, kita bisa sedekat ini padahal dulu kamu menjaga jarak," jawabku pelan.

"Aku bahagia karena kamu bahagia."

Tok.

Tok.

Mas Yusuf melepaskan pelukannya dan masuk ke dalam kamar lalu melihat siapakah yang mengetuk pintu. Ternyata di sana ada Ummi, beliau kemari mempertanyakan kesiapan kami.

"Udah siap belum? Nazwa mana?" Tanya Ummi yang tentu saja masih ku dengar.

"Aku udah siap Ummi, yang lain udah?" Tanyaku sembari berjalan ke arahnya.

"Iya, udah nih. Abi dan mertua mu juga udah nunggu, ayo Yusuf kita ke bawah."

Aku dan Mas Yusuf lalu mengambil tas dan beberapa barang yang di perlukan. Menurutku daerah puncak yang memang benar-benar dingin membuatku sedikit flu dan juga masuk angin, sebuah minyak kayu putih nyaris tak pernah lepas dari genggaman ku karena aku benar-benar bergantung pada benda ini.

"Gimana tidur kalian? Nyenyak nggak?" Tanya Ibu mertuaku sembari memperbaiki jaket yang ku gunakan.

"Alhamdulilah Bu, bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Aku rasa cuacanya dingin mungkin sulit beradaptasi," ucapku pada mereka.

"Everything it's oke, Ayah mu suka sama suhu dingin," jawab Ibu.

Aku mengangguk, aku lalu memperbaiki kerudung Ummi dan sedikit bercerita dengan Abi. Oh percayalah, walaupun mereka bukan orang tua kandung ku, aku tetap sayang pada mereka. Aku di besarkan dengan kasih sayang dan mereka dengan senang hati membiyayai hidup ku walaupun aku sedikit kecewa setelah mengetahui keadaan ku yang menjadi pelunas hutang-hutang milik mereka kepada keluarga Mas Yusuf. Miris memang, namun itulah faktanya.

Mesin mobil Mas Yusuf menyala, target pertama kami kali ini adalah sebuah warung coto yang terletak tak jauh dari vila milik Mas Yusuf. Kata pekerja di villa, coto di sini ada beragam dan juga enak-enak selain itu pemiliknya mempunyai filosofi unik yang sampai sekarang orang-orang mencari tahu maknanya.

Setelah sampai, kami lalu masuk di sana suasananya cukup ramai. Padahal, ini bukan musim liburan.

'Tak pernah bertemu namun terasa sayangnya,'

Aku membaca kalimat itu ada di tiap hiasan dinding yang ada di segela penjuru ruangan ini. Sepertinya kalimat ini cukup berharga bagi si empunya rumah makan. Penilaianku ketika mengunjungi tempat ini yaitu bersih dan juga tertata rapi, cukup membuat pengunjung beta untuk duduk berlama-lama. Kami memutuskan untuk memilih meja yang sedikit besar, dan muat untuk kami semua.

Macam-macam coto menjadi santap sarapan kami, bahkan ada yang mencoba makanan dari beberapa daerah yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.

"Maa syaa Allah, rasa makanannya enak juga yah? Ini unik loh, bisa jadi ide masakan untuk restoran baru mu," kata Ibu kepada Mas Yusuf.

"Ohiya?"

Ibu menyuapi makanan yang ia belum pernah coba sebelumnya, dan ternyata benar makanan tersebut sukses membuat Mas Yusuf memuji makanan tersebut.

Mas Yusuf iseng-iseng memanggil beberapa pekerja di sini dan ia menanyakan siapakah yang memasak masakan-masakan di sini. Dan jawabannya mereka sama, ada satu juru masak di dapur ini namun ia sendiri tidak tahu pasti bumbu apa yang ada di dalamnya sebab, bumbu-bumbu yang di gunakan sudah di racik dari rumah si pemilik rumah makan.

Setelah berbincang cukup lama, pemilik rumah makan datang untuk melihat-lihat rumah makannya dan dia sempat menyapa kami. Mas Yusuf tak ingin tinggal diam, dia lalu memanggil pemilik restoran dan berbincang dengannya.

"Jiwa pebisnis suami mu nggak pernah pupus yah walaupun saat liburan seperti ini ia tetap memikirkannya," ucap Ummi berbisik padaku.

Aku hanya terkekeh geli, benar juga kata Ummi.

"Perkenalkan saya Yusuf," ucap Mas Yusuf mengangkat tangan dan mengajak lelaki tersebut berkenalan.

"Saya Bariq, senang bertemu dengan anda Tuan Yusuf. Bagaimana anda menikmati makanan yang kami sajikan atau anda ada sedikit masukan untuk rumah makan yang kecil ini?" Tanya lelaki seusia Abi yang bernama Bariq ini.

Mas yusuf menggeleng, ia memuji rumah makan Tuan Bariq dan langsung menawarkan beberapa kerja sama. Setelah berbincang cukup lama, Tuan Bariq menyatakan akan memikirkan hal ini dengan matang-matang terlebih dahulu. Aku cukup tersanjung dengan beliau, ia memutuskan untuk merintis rumah makannya hingga mnejadi sebesar ini seorang diri tanpa bantuan siapa-siapa.

Sebelum akhirnya pergi, Tuan Bariq sempat menegurku dengan mengucapkan bahwa kerudung yang kupakai hari cocok dengan wajahku dan hal itu mengudamg gelak tawa bagi kami yang tengah duduk.

"Tidak di sangka ia ternyata seorang Arab-Indonesia. Bahkan, dia sendiri ngomong kalau nggak bisa bahasa daerah Ibunya karena ada banyak suku di dalamnya," ucap Abi terkekeh.

"Iya juga yah? Tapi beliau termaksud jago juga karena bisa membangun rumah makan dengan menu yang beraneka ragam dan seprrtinya tak ada menu gagal di dalamnya," sahut Ayah.

Aku hanya mengangguk setuju, sungguh pengalaman luar biasa bisa bertemu dengan orang sebaik Tuan Bariq ini.

Wanita Kedua Suamiku (On Going)Onde histórias criam vida. Descubra agora