Enam tahun berlalu

1.4K 67 7
                                    

6 tahun kemudian.

Mataku kembali terbuka sempurna dan kembali menatap sesosok lelaki tampan yang tak lain adalah suamiku. Hari ini bertepatan dengan enam tahun pernikahan kami, sungguh Mas Yusuf tetaplah suami yang sempurna. Tak berubah, tak berbeda, bahkan semakin hari semakin romantis. Aku tertawa geli ketika tangannya perlahan masuk ke dalam bajuku dan menggelitikku dengan manja. Tawanya seketika pecah ketika aku terus berucap air seniku akan keluar jika ia tak berhenti.

Kami lalu terdiam, mengatur nafas dengan pelan, dia lalu menoleh kepadaku "Mengapa semakin hari kau semakin cantik," pujinya lalu menarikku masuk kedalam pelukannya.

Aku terkekeh geli dan berucap "Kau tak pernah berubah kalau masalah gombal menggombal."

"Heyy..aku serius tahu, maksudku sudah berapa tahun lamanya kau masih tak mempercayai kesungguhanku dalam memuji kecantikanmu," ucapnya sekali lagi.

Pelukannya semakin erat, dan terus mengangguku dengan celotehan yang bisa mengundang tawa kami berdua.

"Selamat enam tahun pernikahan," ucapku dengan suara kecil.

"Selamat enam tahun pernikahan, waktu berlalu bergitu cepat yah? Semoga rumah tangga kita tetap awet," ucapnya dengan penuh kasih sayang.

Aku mengangguk.

Kami lalu bangun dan saling tatap, dia kembali menggenggam tanganku dengan erat "Minggu depan kita liburan, keperluan Safa sudah lengkap semua?" Tanyanya memastikan.

"Sudah, semuanya dan tak ada cela sedikitpun. Ayo cuci muka dulu, sepertinya Safa sudah berada di meja makan menunggu kita dan aku menebak Safa sudah marah-marah karena kita telat keluar kamar," tebakku.

Mas Yusuf mengangguk, tangan kanannya menarik baju kaos yang harus ia kenakan dan tangan kirinya iseng mencubit pelan pipiku. Kami berdua lalu keluar dan benar saja, Safa sedari tadi sudah mondar mandir di depan kamar kami.

"Loh kok di sini?" Tanya Mas Yusuf kepada Safa.

"Tadi Ayah dapat telepon, tapi nggak Safa angkat. Ponsel Ayah nggak di bawa di kamar, di tinggalin di ruang tamu," jawab Safa lalu menyodorkan ponsel Mas Yusuf.

Mas Yusuf hanya mengangguk.

"Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?" Tanya Mas Yusuf sembari menarik pelan tangan Safa dan segera menggenggamnya.

Safa mengangguk. Iya, Safa sudah bersama kami selama enam tahun lamanya dan tahun lalu dia resmi masuk kedalam keluarga kami dengan menyandang status anak yang di akui Negara. Seperti biasa, Mas Yusuf akan menarik kursi untuk Safa dan mereka akan makan sarapan mereka sembari membicarakan tentang sekolah, teman-teman, dan juga kegiatan Safa.

Aku sungguh kagum, karena Mas Yusuf berusaha keras menjadi Ayah yang baik untuk Safa. Dia mau belajar, mau bertanya, bahkan rela bergabung dengan grub Bapak-Bapak yang rutin menjemput anaknya demi mengetahui kondisi Safa sebelum ia jemput.

"Kemarin Gea kasih aku undangan makan malam Ayah. Katanya ajak Ayah dan Bunda juga sekalian, ini undangan makan-makan yang orang tua Gea selenggarakan di hotel besar," ucap Safa sembari mengunyah makanannya.

Mas Yusuf mengangguk dan berusaha mengingat-ingat Ayah Gea.

"Oh, Sayang kamu ingat nggak Pak Hendrato itu? Yang teman bisnisku? Gea anaknya pertamanya juga satu sekolah loh sama Safa dan mereka temanan," ucap Mas Yusuf mengingatkanku.

"Ingat Mas. Ohiya bagaimana kondisi Mamanya Gea sayang? Sudah baikan? Terakhir yang Bunda tahu, dia ke Singapura untuk berobat," ucapku kepada Safa.

"Alhamdulilah Bunda, Gea kasih undangannya barengan sama Mamanya kok dan kata Gea makan-makan juga bentuk syukuran Ayah Gea karena Mamanya sudah berhasil sembuh dari penyakitnya,"Jawab Safa.

Wanita Kedua Suamiku (On Going)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora