Ayah kandung

1.1K 63 5
                                    

Setelah puas berjalan-jalan, kami memutuskan kembali ke villa dan beristirahat, mungkin sedikit catatan bahwa Mas Yusuf tidak ikut serta karena dia harus kembali untuk mengurus pekerjaannya. Sepertinya, keluarga memang memutuskan untuk banyak-banyak istrahat karena mengingat kegiatan kantor dan juga pekerjaan yang begitu melelahkan. Aku kembali duduk di balkon yang pemandangannya adalah hamparan kebun teh. Aku lalu mengambil laptop untuk memeriksa hafalan anak-anak melalui video yang di kirimkan oleh orang tua mereka.

Jujur saja, di antara segala healing yang aku sukai adalah melihat wajah-wajah polos penuh antusias anak-anak ketika melafalkan lantunan-lantunan indah al-qur'an. Aku terpaku pada satu video sederhana yaitu, seorang anak yatim piatu yang dengan lugas menghafalkan surah Az-zalzalah. Aku banyak sekali mendengar ceritanya dari Bu Marwah salah teman guru di sekolah. Kata Bu Marwah, Safa kini tinggal bersama Neneknya ia bersekolah di sekolah yang baguspun karena diam-diam anak itu di biyayai pendidikannya oleh Mas Hasan. Sungguh, aku turut bangga mempunyai seorang Kakak sebaik Mas Hasan.

'Assalamualaikum Ibu Guru, maaf kalau video Safa kurang bagus hasilnya, tapi semoga Ibu Guru bisa menilai hafalan Safa,'

Aku tersenyum kecil ketika ucapan itu keluar dari bibir mungil Safa. Sungguh, dia anak yang cerdas dan juga bijak, sangat dewasa dari anak-anak seusianya. Terlalu larut dengan Safa, aku bahkan tidak mendengar Mas Yusuf masuk ke dalam kamar.

"Naz, kamu nggak dengar aku nelpon? Aku mau nanya tadi kamu mau nitip cemilan apa tadi," ucapnya sembari berjalan menghampiriku.

"Loh, aku nggak dengar deringan ponsel," jawabku.

Dia lalu duduk di sampingku dan menyesap teh yang ku buat untuk diriku sendiri. Dia lalu mengambil ponselnya dan mencoba menelponku lagi.

"Di dengar yah baik-baik."

Aku lalu berdiri dan mencari ponselku di seluruh penjuru kamar dan hasilnya nihil. Dan tentu saja aku tiba-tiba teringat sesuatu.

"Astagfirullah Mas, sepertinya aku lupa tas aku yang di dalamnya ada ponsel deh. Kalau nggak salah di rumah makan tadi. Aku ke sana yah ambil," ucapku cepat.

Mas Yusuf lalu menarik tanganku dan berucap "Biar aku saja yang antar."

Aku tentu saja menolak, dia lelah dari mengurus pekerjaan dan tiba-tiba saja harus mengantarku karena alasan ketelodoranku.

"Nggak, nggak usah. In syaa Allah aku nggak apa-apa kok ke sana sendirian. Lagian kamu habis nyetir berjam-berjam. Istrahat aja yah?" Bujukku padanya.

Mas Yusuf sedikit berpikir sampai pada akhirnya ia mengangguk menyetujui usulanku. Aku lalu menyalami tangannya dan segera pergi ke rumah makan tadi. Sekitar sepuluh menit menggunakan mobil Mas Yusuf, sampailah aku di rumah makan yang semakin ramai ini.

"Permisi, Mbak lihat nggak di meja nomor sepuluh ada tas warna hitam yang nggak sengaja saya tinggalkan di sana?" Tanyaku langsung.

"Tunggu sebentar yah Mbak," ucapnya lalu ia memanggil temannya, aku mengingat bahwa wanita ini yang melayani kami pagi tadi.

"Alhamdulilah, Mbak datang juga. Mbak cari tas yah? Sini saya antar ke rumah Tuan Bariq," ucapnya lalu menarik tanganku.

Aku mengikuti langkah wanita ini, ternyata selain makanan enak yang mereka sajikan, dapur bersih juga menjadi nilai plus rumah makan ini. Mataku terkunci pada rumah besar yang halamannya asri. Lumayan jauh dari rumah makan, tadinya aku sedikit penasaran tembok apa yang berdiri tepat di belakang rumah makan ternyata ini adalah rumah si empunya rumah makan.

"Mbak silahkan masuk yah, saya pulang dulu," ucapnya pamit.

Aku mengangguk tersenyum dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

Wanita Kedua Suamiku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang