bab 27

266 57 311
                                    

Mikayla bersandar di headboard. Mualnya sudah berkurang, tapi pusing masih menyiksanya. Apalagi efek pesan yang dikirim peneror itu membuat perasaannya menjadi tambah kacau. Bagaiman bisa dia pingsan hanya karna pesan sialan itu, batinnya.

Rencana pulang ke Jakarta hari ini sepertinya akan gagal, tubuhnya masih lemas. Dia tidak mau berakhir di Rumah Sakit kalau memaksa untuk pulang sekarang. Lagian apa yang dia harapkan di Jakarta, pacarnya mungkin sedang bersenang-senang tanpa memikirkan dia yang sengaja menghindarinya.

Mikayla mengotak atik ponsel yang berada di tangannya dengan sangat berminat. Menempelkan ponsel di telinga menunggu seseorang diseberang sana mengangkat teleponnya.

"Bagaimana?"

"On procces ...."

"Bagus. Cari tau siapa dia, apa dia bekerja sendiri atau ada yang mendalanginya. Cari kelemahannya, cari sampai kamu dapat. Bila perlu, kamu gali lubang semut untuk mendapatkan informasi tentang dia." Mikayla tersenyum sinis, "dia salah cari teman main." gumamnya pelan. "Saya tunggu kabarnya, kirim ke email saya. Ingat, jangan mengecewakan saya!"

"Baik Nona. Tapi, apa perlu saya laporkan juga masalah ini pada Nona Sairish?"

Tiba-tiba pintu kamar Mikayla di ketuk, muncul mbok Narti beserta dokter keluarga mereka. Mikayla memang menghubungi dokter keluarganya sesaat setelah dia sadar, dan beruntungnya dokter sepuh itu sedang berlibur bersama keluarga besarnya ke Bandung. Jadi Mikayla tidak perlu menunggu berjam-jam hanya untuk sekedar diperiksa saja.

Mikayla mengangkat tangannya menyuruh untuk menunggu sebentar. Lalu fokusnya kembali ke ponsel yang masih melekat di telingannya. Gadis itu mendengus kesal, "ini masalah kecil, ngga usah libatin dia." Setelah mengatakan itu, Mikayla langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Maaf dokter Edi, saya mengganggu waktu libur anda bersama keluarga." Mikayla tersenyum sopan sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan dokter yang sudah mengabdi pada keluarga mereka dari kakeknya masih hidup.

Laki-laki paruh baya yang dipanggil dokter Edi itu tersenyum maklum. Beliau meraih tangan Mikayla untuk dijabat. "Tidak apa-apa Nona, kebetulan saya lagi bersantai dengan cucu saya tadi."

Dokter Edi memilih duduk di sofa single samping tempat tidur Mikayla, menautkan kedua ruas jarinya di depan dada. "Jadi, kenapa anda memanggil saya Nona Mika?"

Mikayla tersenyum kecil, "ngga mungkin saya ingin mengajak anda makan malam di jam 10 pagi ini kan dokter?"

Dokter Edi terkekeh pelan sambil tetap menatap gadis yang bersandar di tempat tidur itu. Gadis yang terlihat ketus dan manis secara bersamaan.

Klan Malik memang tidak pernah gagal menciptakan  keturunan yang menyerupai bidadari, kecuali sifat mereka yang dingin, tenang tapi mematikan itu. Terlihat tidak ramah tapi punya hati malaikat. Hanya sayang saja, tuan Malik tidak memiliki cucu laki-laki untuk meneruskan Klan mereka. Tapi cucu perempuan keduanya sudah melampaui kemampuan seorang laki-laki, dengan otak cemerlang dan briliantnya dia sudah bisa mengendalikan perusahaan raksasa peninggalan kakek dan orang tuannya walau masih bekerja dibalik layar. Umurnya masih terlalu muda untuk mengemban tugas berat itu, tapi kemampuan otaknya tidak bisa diragukan lagi. Jadi sekarang, Klan Malik tidak perlu merasa was-was bisnisnya terancam.

"Apalagi yang saya panggil adalah dokter kandungan." Mikayla tersenyum lemah setelah mengatakan itu, membuat dokter Edi tersentak kaget di tengah lamunannya.

Senyum tulus kembali tersungging dibibir keriput pria paruh baya itu. Beliau berdehem sebentar, "jadi, apa yang bisa saya bantu?"

Mikayla mengalihkan perhatiannya sebentar ke arah mbok Narti, melihat wanita paruh baya itu mengangguk pelan, membuat pandangannya kembali terarah pada dokter Edi. "Saya hanya ingin dokter mengecek keadaan saya." katanya pelan sambil memilin kedua tangannya.

"Apa yang anda rasakan?"

"Mual, muntah, pusing, lemas." Mikayla memutar bola matanya mengingat apa aja yang dia rasakan dari kemarin.

"Dari kapan?

"Seminggu ini ... mungkin?" Mikayla menggaruk kepalanya tidak yakin.

Dokter Edi mengeluarkan satu testpack dari dalam tas kerjanya, lalu menyerahkan kepada Mikayla. Meminta gadis itu untuk mengetesnya di kamar mandi.

Mikayla keluar dari kamar mandi dibantu mbok Narti karna masih merasa lemas dan pusing. Dia kembali bersandar di headboard. Sedangkan testpack langsung mbok Narti serahkan pada dokter Edi.

Dokter itu menghela napas pelan setelah melihat hasilnya, kemudian beliau mengangguk singkat pada Mikayla yang membuat wajah gadis itu langsung berubah pias. Jantungnya berdetak kencang hingga dia merasa akan meledak, perutnya bergolak serasa ingin memuntahkan seluruh isi yang ada di dalamnya. Keringat dingin terlihat menyembul di dahi dan leher gadis itu. Ah, bukan lagi gadis, sejak dua bulan lalu dia sudah menjadi wanita. Jelas dia tidak akan lupa, kapan pertama kali dia bercinta dengan kekasihnya.

Mikayla berlari ke arah toilet, memuntahkan seluruh isi perutnya tapi yang keluar hanya cairan bening saja. Lagi-lagi mbok Narti sigap membantunya kembali ke tempat tidur.

Setelah selesai memeriksa Mikayla, menyerahkan resep obat untuk ditebus kepada mbok Narti, sedikit memberikan penjelasan seputar kehamilan dan menyuruh wanita itu untuk datang ke Rumah Sakit tempatnya bertugas sekembalinya dari Bandung. Dokter Edi langsung berpamitan kembali ke hotel tempatnya menginap. Mikayla hanya berpesan agar tidak memberitaukan masalah kehamilannya ini kepada siapapun terutama ibunya dan Sairish.

Dan sekarang dia sendirian dikamar ini, setelah menyuruh mbok Narti pergi untuk menebus obatnya. Beruntuk ketiga sahabatnya sudah pulang terlebih dahulu ke Jakarta sesaat setelah dia sadar tadi. Kalau tidak, mereka mungkin akan mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan yang akan sangat sulit untuk Mikayla jawab.

Mikayla meraba pelan perutnya yang sudah terlihat sedikit menonjol. 10 minggu, begitu kata dokter Edi tadi. Berarti pertama kali mereka melakukannya langsung berhasil. Mikayla mengakui kehebatan Jayden dalan hal ini. Diapun sudah mendengarkan denyut jantung bayinya tadi dengan doupler yang dokter Edi bawa.

Jujur, dia bahagia, air matanya tidak berhenti mengalir dari tadi. Tidak ada penyesalan untuk itu. Buat apa? Toh sudah terjadi, pikirnya. Dia juga membuatnya dengan cinta, bukan atas dasar paksaan siapapun. Sekalipun janin ini datang dengan cara yang salah, tapi tidak membuat Mikayla membencinya. Yang salah itu Mikayla dan Jayden, bukan janinnya.

Tangannya tidak berhenti mengusap-usap perutnya, tersenyum disela isak tangisnya. Yang Mikayla pikirkan sekarang, bagaimana hubungannya dengan Jayden ditengah orang-orang yang mengharapkan perpisahan mereka. Mikayla gamang, apa dia harus bertahan atau memilih berakhir saja.

"Hai sayang, ini Haha." Mikayla lagi-lagi terisak, "terima kasih sudah memilih hadir di perut Haha. Kita harus kuat ya, bantu Haha." Mikayla terdiam sambil mengatur napasnya yang tersengal, menghapus kasar lelehan air matanya yang tidak berhenti keluar.

Mikayla lagi-lagi berpikir, bagaiman cara dia memberitahu ibunya dan Sairish. Mereka berdua pasti sangat kecewa dengan kelakuan Mikayla yang sudah kelewat batas. Sekarang dia pusing sendiri.

Ditengah kekalutannya, pintu kamarnya diketuk dari luar, kemudian terbuka sedikit menampilkan mbok Narti disana.

"Non, ada tamu."

Belum sempat Mikayla bertanya, mbok Narti menggeser tubuhnya ke samping, memperlihatkan seseorang yang berdiri dibelakangnya.

Napas Mikayla tertahan, pandangannya terpaku pada sosok yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya, wajah kuyu dan rambut acak-acakan menjadi pemandangan pertama yang Mikayla lihat. Kantong mata itu menghitam menandakan sang empunya mungkin tidak beristirahat dengan baik beberapa hari ini. pandangan mereka bertemu, ada sorot rindu dan penyesalan dikedua matanya.

Mata Mikayla berkaca-kaca, wanita itu merentangkan tangan meminta untuk dipeluk.

"I miss you so bad," lirihnya.

-----------------------------------------------------------------

Keterangan:

Haha   : ibu (dalam bahasa Jepang)

Chichi : ayah ( dalam bahasa Jepang)

To be continue🍑

Hallo, MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang