30. Lettu Praditya Satya Nagara

182 26 44
                                    

❝Jika memang surat kala itu sebuah jawaban, maka untaian kasih yang selalu menggema dari bibir itu akan aku terima.❞

🌿🌿🌿

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🌿🌿🌿

Seminggu lebih setelah Asraf siuman, pria yang Nadhira sebut ayah itu sudah boleh pulang. Kaki Nadhira bergerak, tangannya mendorong kursi roda yang Asraf duduki. Masih berat, terlihat raut wajah Nadhira yang tak lepas. Selayaknya ada beban untuk merawat Asraf. Bayangan Asraf dulu masih saja terlintas di pikiran Nadhira. Bahkan, paling membekas ketika lontaran tuduhan waktu ulang tahun Maura. Terbesit niat atas doa agar Asraf tak bangun lagi, tetapi hati kecil Nadhira masih menolak.

"Biar saya saja, Mbak!" tawar Bram, tangan kanan Asraf yang masih setia. Nadhira pun mengangguk. Ia menyerahkan kepada Bram.

Tubuh renta itu dinaikkan ke atas mobil. Setelah itu, Nadhira baru masuk. Perihal Laras dan Maura, kedua insan itu sudah meninggalkan Asraf. Tidak semua aset milik Asraf mereka miliki, hanya seperempat karena hal itu sudah diubah Asraf untuk menghindari hal-hal semacam ini. Mobil pun melaju. Nadhira masih saja diam. Pandangan gadis itu lurus ke depan.

"Nad, Bunda kamu jadi menikah?" tanya Asraf dengan artikulasi yang buruk. Bahkan, sempat tak jelas ditangkap oleh Nadhira.

"Jadi, Yah. Setelah Nad wisuda," balas Nadhira. Nadanya terdengar ogah-ogahan. Sementara, Bram hanya mengamati dari pantulan spion tengah.

"Maafin Ayah, Nad," ucap Asraf. Nadhira mengangguk seraya tersenyum tipis. Setitik air mata terjun dari tempatnya. Nadhira mengalihkan wajah ke arah lain. Mengusap air matanya agar tidak dikatakan lemah.

"Nggak ada yang perlu dimaafkan karena nggak ada yang salah, Yah. Nadhira nggak apa-apa, kok. Udah, ya. Ayah istirahat aja, jangan banyak pikiran dulu, Nadhira nggak apa-apa," pungkasnya. Setelah itu, tak ada lagi kalimat yang terlontar. Semua terdiam. Mobil itu semakin melaju cepat.

"Om Bram! Nanti abis anterin Ayah pulang, Om anterin saya ke supermarket, ya. Saya mau isi kulkas," ucap Nadhira. Bram yang melihat dari kaca spion tengah pun mengangguk.

Tak terasa empat puluh menit perjalanan, mobil itu telah memasuki pekarangan rumah besar milik Asraf. Saat mobil berhenti di depan pintu masuk, Nadhira pun lebih dulu keluar. Ia membukakan pintu untuk Asraf. Bi Sumi mengambil kursi roda, sedangkan Bram dan Nadhira membantu Asraf turun.

Bram mendorong kursi roda itu sampai di kamar utama lantai bawah. Nadhira masuk terlebih dahulu ke dalam, lalu membenahi selimut untuk Asraf. Tubuh renta itu dibaringkan di atas kasur. Nadhira menarik selimut untuk menutupi tubuh Asraf sebatas dada.

"Bi Sumi, saya titip Ayah. Saya mau beli bahan makanan dulu," titah Nadhira. Sang asisten rumah tangga itu mengangguk. Nadhira bersegera keluar dari kamar Asraf. Namun, sebelum itu langkahnya terhenti. Penuturan Asraf membuat kakinya berhenti.

"Terima kasih sudah mau merawat Ayah. Ayah minta maaf," ujar Asraf dengan lafal tak jelas. Nadhira tak membalas, bahkan ia tak menoleh sedikit pun. Lantas ia pun melanjutkan langkah. Begitu juga Bram yang mengikuti dari belakang.

HCN : Harap Cintai Nadhira [END]Where stories live. Discover now