42. Makam Mirna

139 24 6
                                    

❝Bukan sebuah kunjungan tak berarti, tetapi kali ini dua raga ini ingin meminta restu untuk bersatu.❞

🌿🌿🌿

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🌿🌿🌿

Senin selalu datang lebih awal, seakan hari Sabtu dan Minggu tidak punya harga diri. Gadis yang harus kembali bekerja itu bangun lebih pagi. Mencoba untuk melarikan diri agar terhindar dari Bram. Namun, baru mengindik ke arah pintu keluar, nama Nadhira lantang diserukan. Nadhira mengembuskan napas kasar. Gadis dengan setelan blazer dan straight pants dengan heels setinggi tiga sentimeter menghentikan langkah.

"Saya antar, Mbak. Nanti pukul satu saya jemput buat periksa ke dokter Gibran. Saya juga sudah membawa surat permohonan izin dari dokter Gibran untuk diberikan ke Bosnya, Mbak," jelas Bram seraya mengangkat surat ke udara. Nadhira mengembuskan napas.

"Suratnya sini, deh, Om. Nanti aku bareng Adinda aja kontrolnya. Lagian Adinda mau ada perlu sama Papanya," pinta Nadhira. Bram menyerit.

"Yakin, Mbak? Nggak sama dosen itu 'kan? Pak Asraf belum kasih izin loh, Mbak," tukas Bram. Nadhira mendecak.

"Iya, Om. Saya beneran. Udah, ya. Mau berangkat nggak nih? Saya telat loh jadinya," ketus Nadhira. Bram pun mengangguk. Pria itu memberikan surat itu pada Nadhira. Bram mepersilakan Nadhira untuk jalan duluan. Membukakan pintu untuk anak majikannya, lalu kembali masuk ke mobil di balik kemudi. Sementara, Nadhira kesal sendiri karena tidak bisa melarikan diri. Kalau bukan karena surat izin, gadis itu akan kabur duluan.

Mengerucutkan bibir seraya menatap ke arah jalanan yang cukup padat. Pasalnya waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Nadhira mendesis. Ia akan jadi karyawan pertama selain OB yang datang ke kantor. Nadhira mendecak.

"Om, mampir beli bubur ayam. Saya lapar belum sarapan!" ketus Nadhira. Sementara, Bram terkekeh menanggapi. Pria itu tahu keinginan Nadhira untuk menghindarinya, belum sarapan, bahkan jam masuk kerja Nadhira yang masih dua jam lagi.

"Siap, Mbak!" lantang Bram. Mobil itu menepi ke kiri jalan ketika melihat warung bubur ayam. Memarkirkan mobil, lalu membukakan pintu untuk Nadhira.

"Om ikut sekalian, ya. Saya nggak mau sendirian," suruh Nadhira. Bram pun menunduk patuh. Saat memasuki warung, Bram malah mengambil berdiri di samping anak majikannya. Nadhira pun mengembuskan napas.

"Saya nggak suruh Om Bram buat berdiri. Duduk sini! Nadhira udah pesankan buat Om. Nad juga mau tanya-tanya soal Ayah," suruh gadis itu. Bram yang tak terbiasa, kini mau duduk di depan Nadhira karena paksaan gadis itu. Tak lama pesanan mereka pun datang.

"Nih, buat Om Bram," ujar Nadhira seraya menyodorkan semangkuk bubur ke arah Bram.

"Makasih, Mbak," sahut Bram. Nadhira tersenyum menanggapi. Kedua manusia beda kasta itu makan bersama. Nadhira tak pernah membedakan. Baginya, Bram selayaknya ayah. Bahkan, saat dua tahun mangkir kontrol kala itu, Bram yang selalu membujuknya. Bahkan, bisa dibilang peran Asraf tergantikan pada saat itu.

HCN : Harap Cintai Nadhira [END]Where stories live. Discover now