Epilog

795 39 10
                                    

❝Tuhan seakan tak adil dalam membuat skenario-Nya. Mungkin terlihat buruk di mata manusia, tetapi begitu baik di mata Tuhan.❞

🌿🌿🌿

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🌿🌿🌿

Semilir hawa dingin di waktu senja dan gelapnya langit, menandakan jika hujan akan mengguyur Jakarta. Pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu memandang nanar nisan berusia kurang lebih satu tahun di depannya. Membawakan sebuket bunga lily seraya mengelus nisan bertuliskan nama 'Nadhira Fla Satrowijoyo binti Asraf Sastrowijoyo'. Kepala tertunduk lesu. Derai air mata menghujam permukaan wajah Juan. Pria yang hampir menikah dengan sosok di bawah nisan ini masih merasa kehilangan. Bahkan, penyesalan bertambah besar ketika membaca semua diary Nadhira. Salam kerinduan, kasmaran, takut, kesendirian, kesedihan, bahkan segala rasa yang gadis itu rasakan tertoreh di buku pemberiannya saat ulang tahun kala itu.

"Semiris ini, Nad? Mana janji kamu untuk selalu menunggu dan mencintai saya? Rasanya semua itu hanya fatamorgana, ya? Saya dipatahkan sendiri oleh ekspetasi yang saya buat. Harusnya saya sadar, presentase kehilangan kamu jauh lebih besar daripada memiliki kamu," lontar Juan di akhir keputusasaannya.

"Saya nggak tahu harus apa saya sekarang. Saya pun nggak tahu sampai kapan saya akan seperti ini. Mudah bagi kamu mengatakan untuk mencari pengganti, tetapi nama kamu begitu membekas, Nad. Saya sampai berpikir ingin lajang seumur hidup, tapi terdengar seperti kemustahilan," ucap Juan lagi. Pria itu sudah menangis. Menenggelamkan kepala sedalam mungkin. Mencengkeram celana bahan begitu kuat.

"Bolehkan saya egois, Nad? Bolehkan saya meminta kamu kembali hidup? Bolehkan saya memeluk kamu sekali lagi? Bolehkah waktu diputar ke titik awal?" cecar Juan. Setiap lontaran Juan memang terdengar seperti bantahan yang tak pantas didengar, apalagi ditujukan kepada Tuhan. Namun, rasa kehilangan memang senyata itu. Nadhira yang seakan mendapat harapan baru dari operasi lanjutan, malah menyegerakan usia Nadhira. Juan yang seakan diberikan harapan baru atas operasi itu pun dipatahkan oleh garis Tuhan.

Tik! Rintikan hujan mulai berjatuhan. Juan dengan tawa mirisnya kembali berucap. "Bahkan semesta saja mendukung kepergian kamu, Nad. Semesta yang menolak untuk kamu bersanding di samping saya," ujar Juan. Helaan napas terdengar. Juan menggelengkan kepala. Tangan yang berlumur lumpur itu mengusap air matanya. Tiba-tiba saja rintikan di atas kepala Juan berhenti menetes. Pria itu mendongak.

"Seburuk apa pun rasa kehilangan itu, kamu tidak boleh hilang akal. Saya pun merasa kehilangan, mungkin lebih parah dari kamu. Saya mengenal Nadhira sebelum kamu, dari dia masih kecil. Saya harap kamu tidak menangisi kepergiannya terlalu mendalam. Biarkan Nadhira tenang di alam sana," lontar Praditya yang entah dari kapan sampai di pemakaman, tepatnya di belakang Juan.

"Lucu ketika saya menasihati orang yang lebih tua dari saya, tapi memang nyatanya seperti itu. Sekuat apa pun guncangan di hati kamu, saya harap itu tidak membuat Nadhira kecewa di alam sana. Seperti yang dikatakan Nadhira, berbahagialah, menikahlah dengan wanita lain. Satu hal yang perlu kamu tahu, Nadhira sudah tak menahan sakitnya lagi. Saya rasa itu yang membuat Nadhira melepaskan dunia dengan mudah. Ikhlas, tak mudah, tapi saya yakin kamu bisa," imbuh Praditya.

Juan menghela napas kasar. Semua perkataan Praditya benar. Bahkan, sudah beberapa hari ini dia meratapi kepergian Nadhira. Padahal, bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan. Rasanya begitu egois ketika memberatkan jiwa Nadhira di sana.

"Ambil payung kamu, kita pulang. Jika bukan karena adik kamu yang memaksa saya, saya nggak akan mau mengajak rival saya pulang bersama. Ya, tapi sekarang memang nasibnya sama, pria yang ditinggal wanita tercinta," seloroh Praditya. Juan tersenyum miring. Pria itu pun bangkit. Ia mengambil payung dari Praditya.

"Saya pulang dulu, Nad. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari kehidupan saya. Saya akui, program HCN kamu sangat berpengaruh dalam diri saya, bahkan sampai saya lupa kalau saya bisa saja merasa kehilangan," ujarnya miris. Praditya hanya mengulas senyum miring.

"Saya juga pamit, ya, Nad. Satu hal lagi, saya akan segera melamar wanita bernama Jovita Pradita," papar Praditya. Hal itu membuat Juan memelototkan matanya. Bagaimana bisa adiknya?

"Kamu!" sentak Juan dengan mata yang hampir keluar. Praditya terkekeh.

"Saya siap jadi adik ipar Mas," tambah Praditya. Hal itu membuat Juan semakin geram. Pria itu mengejar oknum yang membuat jantungnya mencelos.

Beginilah hidup, ada yang datang dan ada yang pulang. Pertemuan dan perpisahan. Awal dan akhir. Ada dan tiada. Semua telah tergariskan rapi di lembar skenario milik Tuhan. Tak ada satu pun manusia yang tahu, tak ada satu pun manusia yang paham. Hanya menunggu seraya menyiapkan diri sebaik mungkin hingga tiba saatnya.

🌿🌿🌿

Word count : 710 words

He yoo! Terima kasih sudah membaca sampai lembar terakhir kisah ini. Masih menyangkal? Tapi dari awal sudah dikasih tahu, apalagi sama tag ceritanya. #angst #sad, tanpa menuliskan #happy di sana. Maaf, ya merosotkan harapan kalian. Tapi inilah happy ending versi Nadhira. Dia yang udah nggak merasa sakit lagi. Sudah bahagia.

Jangan lupa vomment. Terima kasih sudah setia. Aku bahagia bisa menuliskan cerita ini sampai tamat. Seneng banget rasanya. Silakan #MasAdit dan #PakJuan nganggur, mau diangkut boleh. Hehe. Baca cerita yang lain lagi, ya. Aku mau kambek lagi sama cerita yang baru, huhu. Kali ini happy end, kok kayaknya sih.

Big luv,

Vanilla Latte.

HCN : Harap Cintai Nadhira [END]Where stories live. Discover now