Fourteen

113 21 9
                                    

Malamnya Mama bercerita banyak tentang keputusan bulat Haru yang memilih mengambil beasiswa full disana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malamnya Mama bercerita banyak tentang keputusan bulat Haru yang memilih mengambil beasiswa full disana. Ini adalah rencana yang sempat lelaki itu tunda semenjak satu tahun yang lalu.

Sedari tadi, Yuane menggigit bibir menyadari rasa bersalah yang menghinggap dihati. Seharusnya sikapnya tak sebrutal ini untuk menjauhi Haru, seharusnya sebagai saudara Yuane bisa menuntun Haru perlahan demi menghilangkan rasa aneh itu didalam benaknya.

Lantas sekarang apa yang harus Yuane lakukan, jika nomor telpon Haru tak dapat lagi ia hubungi. Berkali-kali pesan whatsapp Yuane kirim, namun hasil yang ia dapati hanya sebatas centang satu abu-abu.

"Kalian saling merajuk? kenapa hal seperti ini kamu bahkan tak tahu?" tanya Mama disela-sela suapan pudding ditangannya.

Yuane menunduk, sembari menggulirkan ponsel ia memijit pelipis pelan, "aku yang salah Ma, seharusnya waktu itu aku gak berbicara lebih sama Haru"

"Udah ngehubungin Haru?"

Yuane mengangguk, "udah tapi ga ada jawaban"

Mama beralih mendekati Yuane, mengusap surai gadis itu penuh kasih, "mungkin Haru hanya perlu waktu buat nenangin pikirannya, esok pagi atau lusa, dia pasti udah gak marah lagi. Percaya deh sama Mama, namanya juga remaja puber"

"Berapa lama Haru disana?"

"Kebetulan dia memilih tinggal diasrama, mungkin paling lama sekitar enam bulanan dia baru bisa ambil cuti buat pulang kesini. Haru bilang dia akan sering-sering pulang kalau pihak yayasan ngizinin"

Yuane tersenyum merekah, sedikit lega karena penuturan Mama, "kalau udah gini aku sedikit tenang, mungkin Haru memang butuh waktu. Besok pagi aku hubungin dia lagi"

"Gitu dong, adik-kakak ga boleh lama-lama merajuk. Udah malem, kamu cepet tidur. Besok sekolahkan?"

Mengangguk, Yuane tersenyum seraya berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Mama bersama senyum yang merekah. Suasana hatinya setidaknya sedikit terobati, meski rasa bersalah itu masih bersemayam dihati.

Hal pertama yang Yuane raih setelah terbangun dari tidurnya adalah gagdet yang sengaja ia simpan diatas nakas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hal pertama yang Yuane raih setelah terbangun dari tidurnya adalah gagdet yang sengaja ia simpan diatas nakas. Beberapa notifikasi muncul setelah data seluler ia hidupkan sembari menunggu harap.

Berharap Haru akan membalas pesan yang telah Yuane kirim kemarin malam. Jelang sepuluh detik menunggu sengaja Yuane bersikap positif, mungkin saja jaringan dipagi hari sedang ada gangguan.

Namun harap itu tak kunjung muncul dipermukaan, notifikasi dihandphonenya hanya dipenuhi oleh beberapa percakapan anak-anak kelas. Selebihnya tak ada yang bisa Yuane harapkan.

Mengusap wajah kasar, Yuane berusaha bangkit untuk bersiap diri menyambut upacara pagi di hari senin. Hari yang menurut kebanyakan orang hari adalah hari yang paling menyebalkan.

Langkahnya nampak gontai ketika ia sampai diujung anak tangga. Sungguh, tak ada api semangat dalam diri Yuane tatkala Mama memanggilnya untuk segera sarapan.

Suara bel berhasil mengalihkan perhatian Yuane, sudah ia pastikan itu pasti kekasihnya. Kalau bukan dia terus siapa lagi? Jojo tak mungkin lagi datang sepagi itu kemari.

Mama menatap sekilas Yuane lewat ujung mata, sadar ada yang salah dari raut wajah putrinya. Selama beberapa detik bahkan Yuane tak kunjung berdiri dari sana, masih berusaha tak acuh akan bunyi bel yang terus menerus berbunyi tak sabar, berharap Mama peka untuk segera membukakan pintu utama untuknya.

Mama segera bangkit tanpa berucap, melangkah pelan menuju pintu utama rumah. Wanita itu tersenyum tatkala sosok Dobby berdiri diteras rumah sembari tersenyum hangat, sebagai sapaan pertama dipagi hari.

"Masuk dulu yuk, Yuane-nya masih sarapan. Kamu udah sarapan belum?"

Seraya berjalan masuk bersama Mama kedalam rumah, Dobby mengekor dibelakang, senyumnya masih terus mengembang, "udah tante, tadi dirumah"

Dobby memutuskan untuk menunggu Yuane diruang tamu, duduk seraya mengedarkan pandangan memperhatikan sekitar. Lima menit kemudian sosok Yuane hadir bersama Mama disampingnya. Gadis itu lantas tanpa mengulur waktu segera mengucap pamit dan berlalu dari sana.

Yuane berusaha tersenyum, meski hatinya menjerit perih. "Ayo!"

Keduanya berjalan beriringan menuju halaman rumah sesaat setelah Dobby melakukan hal yang sama pada Mama. Lelaki itu lalu memasangkan helm dikepala Yuane, rutinitas dipagi hari saat ia menjemput Yuane kerumahnya.

"Wajah kamu kenapa? ada masalah?"

Yuane mengernyit, bertanya dalam hati mengapa Dobby tahu ada yang salah dalam dirinya.

"Hah? ada yang salah dari wajah aku?"

Dobby berdecak, "Kita kenal bukan hanya setahun dua tahun, aku tahu raut wajah dimana kamu marah, sedih, senang bahkan saat kamu jengkelpun aku tahu semuanya"

"Aku gapapa cuma lagi pusing aja" ucap Yuane berusaha meyakinkan, bahwa ia baik-baik saja.

"Dengar aku" Dobby menatap manik Yuane, melangkah satu langkah lebih maju dan membawa tangan Yuane kegenggaman, "tidak ada yang perlu ditutupi dari kita. Kamu milik aku dan akan seterusnya begitu. Lantas apa gunanya aku jika kamu memilih menutupi masalah kamu tanpa sedikitpun berniat untuk membagi semuanya dengan aku?"

Dada Yuane sedikit dihimpit rasa sesak, tatkala Dobby berucap lembut dan membawanya kedekapan. Ia membatin dalam hati, mengapa ada yang mengganjal dalam kalbunya?

 Ia membatin dalam hati, mengapa ada yang mengganjal dalam kalbunya?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Homescapes Where stories live. Discover now