chapter 10

11.1K 853 55
                                    

Tiga hari berlalu dengan cepat. Tibalah saatnya Maeda bertandang ke Jepang. Karena ada rapat dewan yang sangat penting. Tak lupa ia mengajak Surya bersamanya. Surya sangat senang karena tuannya itu memboyongnya dalam perjalanan itu. Mengingat status dirinya yang tak lebih dari rakyat jelatah dari negeri jajahan. Biasanya para petinggi memang punya banyak istri, gundik atau simpanan dan budak-budak yang dijadikan pemuas nafsu. Tapi petinggi seperti itu tak akan memboyong gundiknya ke Jepang. Karena saat dia ditugaskan di wilayah baru, ia akan mencari gundik baru. Begitu seterusnya hingga banyak anak-anak berdarah campuran yang terlahir.

"Pelan-pelan!" Maeda memegangi tangan Surya saat akan memasuki pesawat terbang. Surya kagum. Itu adalah pertama kalinya dia melihat langsung wujud pesawat terbang.

"Sini.. buat dirimu, nyaman!" Maeda membenarkan letak tempat duduk bagi Surya.

Itu adalah pesawat pribadi milik jenderal. Jadi di dalamnya hanya ada Maeda, Surya dan pilot. Maeda dan kedua pilot itu mengobrol menggunakan bahasa Jepang membahas agenda rapat dewan. Surya yang tak mengerti hanya menyandarkan kepalanya dan mencoba tidur. Tangannya memegangi perutnya.

"Kenapa? Perutmu tidak nyaman? Sakit?"

"Tidak. Hanya sedikit aneh. Mungkin aku tidak terbiasa naik pesawat seperti ini. Ini yang pertama kali, tuanku."

Cuppp !!! Kecupan ringan mendarat di kening Surya. Blushh ia memerah. Malu karena sekat antara kabin pilot dan penumpang tidak di tutup.

"Jangan seperti itu. Aku malu tuan."

"Tak perlu malu, kamu kekasihku. Untuk apa malu. Mereka berdua juga tidak melihat. Tapi mungkin mereka mendengar bunyinya saja." Maeda terkekeh mengusili Surya.

"Ishhh..." Surya cemberut.

"Maaf. Kau cantik hari ini."

"Biasanya aku jelek"

"Hahaa tentu saja tidak. Setiap hari kamu cantik... maaf, aku akan berhenti menggodamu."

"Hmm"

Mereka berdua bercanda dan tertawa renyah. Meninggalkan dua pilot yang jomblo sebagai obat nyamuk.

"Tuan, dimana kampung halaman anda ?"

"Nanti kamu akan tahu. Tempat itu indah udaranya asri dan sejuk."

Mata Surya berbinar. Dia tidak sabar ingin melihatnya. Surya menggeliat. Punggungnya letih dan tidak nyaman.

"Punggungmu sakit. Sini biar aku pijat." Maeda telaten merawat Surya selama dalam perjalanan. Saat makanpun ia akan menyuapinya.

"Buka mulutmu... Akk" Maeda menyuapi makanan itu dengan sumpit.

"Aku akan makan sendiri. Aku bukan anak kecil."

"Ini tugasku sebagai suamimu."

Blushh!!! Wajah Surya memerah. Suami. Kata yang tak pernah ia bayangkan.

"Jangan mempermainkanku terus." Surya memukul lengan Maeda pelan.

"Memang benar. Aku akan jadi suamimu. Ehh.. wajahmu sangat merah."

"Berhenti." tanpa sadar tangan Surya menutupi mulut Maeda agar berhenti bicara.

Cupp!!! Alhasil tangannya malah dikecup oleh Maeda. Mereka berdua tertawa lagi. Senja mulai terlihat dari ufuk timur ke ufuk barat.

Surya tertidur sepertinya sangat kelelaha n. Maeda memandanginya dengan penuh cinta. Setelah perjalanan yang sangat melelahkan akhirnya mereka sampai di Jepang beberapa hari kemudian.

Pesawat itu mendarat di pangkalan udara Jepang di dekat lepas pantai. Debur-debur ombak dan mentari yang tak begitu terik.

"Pelan-pelan, turunnya."

"Iya terima kasih." Surya turun dengan memegangi perutnya.

Tak jauh dari sana sudah ada rombongan yang menjemput Maeda. Wanita berbalut kimono itu menatap lurus ke arah mereka berdua. Sedang para pengawalnya mengapitnya di kanan kiri. Maeda yang tak menyadari itu menggengam tangan Surya. Ia menenteng tasnya. Ia sesekali menunjuk lautan atau pesawat lain yang terparkir di sana. Ia tak menyangka akan dijemput.

"Suamiku..." suara wanita itu memecah tawa Maeda dan Surya. Wanita cantik itu berjalan mendekati mereka. Perutnya juga membuncit. Lebih besar dari perut Surya. Mungkin itu sudah 8 bulan lebih. Maeda terkejut. Istrinya ada di sini menjemputnya. Ia tak meninggalkan pesan untuk dijemput karena ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama Surya.

Surya juga tak kalah terkejutnya. Dipandanginya Maeda saat wanita itu mulai mendekat. Perut wanita itu juga besar menandakan ia sedang hamil juga. Surya gemetar. Ia memang tahu Maeda pasti mempunyai istri di sana. Tapi tak menyangka akan secantik ini. Hati kecilnya menciut. Ia tak bisa dibandingkan. Ia tak ada apa-apanya. Maeda menarik Surya agar berada di balik punggungnya.

"Suamiku, kamu pulang." Wanita itu tersenyum sambil mengelus-elus perutnya. Ia melirik pada Surya yang terlihat sedikit di belakang suaminya.

"Iya aku pulang. Aku ada pertemuan penting." jawabnya singkat.

"Lalu siapa itu? budak yang kamu pungut dari negeri jajahan?"

Mata Maeda membesar tak terima dengan kata-kata istrinya.

"Bukan. Dia kekasihku." jawabnya tenang.

"Kekasih? Maksudmu simpananmu. Apa tak salah memungut seorang pemuda sebagai selirmu. Aku tak masalah harus berbagi dirimu. Tapi jangan rendahkan aku dengan kau bersanding bersama budak itu. Itu menyakiti harga diriku. Banyak putri jenderal atau petinggi yang ingin jadi selirmu."

"Cukup, Naomi. Jangan buat keributan di luar rumah." Maeda meninggikan suaranya. Ia benar-benar jengah. Ia menarik Surya mengikutinya menuju mobil jemputan itu. Ada dua mobil.

"Masuklah." Maeda menyuruh Surya masuk. Ia menggengam erat tangan itu.

"Aku tidak apa-apa,tuan." Surya berbohong padahal hatinya saat ini sedang berantakan. Kata-kata yang diucapkan Naomi tidak ada yang salah. Itu semua fakta. Seperti tamparan yang membangunkannya dari mimpi indahnya selama ini. Hal itu semakin menyakiti dirinya. Ia tersenyum getir agar tuannya tak khawatir.

"Bohong. Kau tak perlu menutupi keresahanmu. Bergantunglah padaku." Maeda mengelus rambut Surya. Ia menutup pintu kemudian. Dan duduk di samping Surya.

"Tuan, anda naik di sini juga. Bagaimana dengan nyonya?"

"Tidak. Aku akan bersamamu. Aku sudah berjanji. Dia bisa pulang dengan para pengawalnya. Kau tak perlu memanggilnya nyonya!"

"Hmmm... Tapi dia istrimu. Dia nyonyaku, tuan" Surya mengangguk. Sebenarnya ada sedikit rasa senang ketika Maeda memilih pergi bersamanya. Ia merasa dicintai dan diistimewakan. Mobil itu pun melaju meninggalkan bandara. Meninggalkan kenangan buruk bagi Surya dan Naomi.

"Tapi kamu kekasihku. Cintaku. Hanya kamu belahan jiwaku." ucapnya penuh keyakinan. Maeda memikirkan perut Naomi. Itu sudah sangat besar. Jika memang itu anaknya itu takkan sebesar itu. Saat ia ditugaskan itu baru enam bulan lalu. Ia pun hanya tidur sekali dengannya. Dan ia sangat yakin, ia tak menebar benih dalam kandungan Naomi. Jadi anak siapa itu? Maeda berpikir keras.
-----------------

----------------Lanjut gak nih? Jangan lupa vote dan komennya

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

----------------
Lanjut gak nih?
Jangan lupa vote dan komennya.
Kalau misal kalian pikir ada istilah yang aneh atau salah boleh kok ritik dan saran its okay .. Sharing is caring^^

Happy ready. Ketemu lagi di updatean selanjutnya.

DARK LOVE (BL) (Mpreg)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora