chapter 14

7.5K 584 1
                                    

Flashback hari pembakaran desa...

Iro mondar-mandir memikirkan cara untuk menyelamatkan Bram dan anaknya. Bagaimana dia bisa mengeluarkan mereka dari sana sebelum api menjalar? Jika ia berkata jujur, Bram pasti tak akan mau sukarela ikut dengannya. Ia sudah tahu itu. Mau tak mau Iro harus menggunakan cara ekstrim.

Malam itu seperti biasa Bram menunggu Iro berkunjung ke rumahnya. Ia pandangi jalan yang kosong, belum tampak sosoknya. Kenapa dia terlambat? batin Bram. Obor depan rumahnya terhembus angin hingga mati. Ia menimang Romi dalam pelukannya. Entah mengapa perasaannya tidak enak dan firasat buruk menghantuinya tiba-tiba. Romi terlelap saking lelahnya bermain seharian. Bram menepuk-nepuk punggungnya.

Sebenarnya akhir-akhir ini suasana sedikit tenang. Tak ada serangan ataupun perlawanan dari kedua belah pihak seperti gencatan senjata saja. angin yang tenang sebelum badai. Itu membuat Bram dan kelompoknya lengah.

Udara malam semakin dingin. Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah Bram, membuatnya mengantuk. Akhirnya ia memutuskan masuk dan menunggu di dalam. Tak lama berselang terdengar suara ketukan di pintu. Bram dengan sumringah hendak membuka pintu. Mengira Iro lah yang mengetuk rumahnya. Bukannya Iro yang ia dapati, melainkan kelompoknya yang berkumpul di sana. Mereka mengatakan mendengar informasi penting bahwa Jepang akan memulai pergerakan. Bram terkejut.

"Bagaimana kalian tahu?" Bram bertanya.

"Kami mengintai di sekitar camp itu. Dan mereka terlihat mencurigakan." kata salah satu anggotanya.

"Lalu apa saja yang kalian lihat? Apa kita harus menyerang mereka lebih dulu?" Bram mengusulkan.

"Tidak. Itu tidak menguntungkan kita. Kita harus menunggu, mereka pasti melaksanakan rencana mereka dalam waktu dekat." ucap seorang tetua desa yang masih hidup dan ikut berjuang dalam kelompok itu.

Bram makin gusar. Ia dilema karena lagi-lagi ia harus dihadapkan pada situasi ini. Ia harus melawan kekasihnya dalam perang itu. Ia tahu Iro pun tak mungkin membocorkan apapun padanya karena tahu sifatnya yang selalu mementingkan orang lain. Mungkin itu sebabnya Iro bergeming dan hanya menghabiskan waktu mereka tanpa embel-embel masalah di sekeliling mereka.

"Api.. api.. ada api besar dari lumbung desa. Tolong.. tolong..." teriak seorang penduduk memecah keheningan di malam itu. Penduduk panik berhamburan. Ada yang mengambil air ada yang berusaha memadamkan api. Tapi karena angin tak bersahabat, api jadi sulit dipadamkan. Api itu mulai menjalar dari rumah ke rumah. Apalagi rumah mereka terbuat dari kayu. Ada yang berhasil keluar rumah tapi naasnya ada juga yang masih terjebak dalam kobaran api itu.

"Tolong... tolong..." penduduk yang makin panik berlarian tak karuan. Keselamatan diri sendiri adalah nomor satu. Mereka sudah tak menghiraukan orang lain lagi. Bram dan kelompoknya berusaha membantu semampunya. Menolong yang bisa ditolong. Apalagi gerak Bram terbatas, ia sambil menggendong Romi dengan erat. Hawa sangat panas menyeruak. Karena sudah tak bisa dipadamkan lagi penduduk sepakat untuk mengungsi ke daerah lain. Itupun kalau mereka bisa selamat dari mata tentara Jepang.

Benar saja di luar desa para tentara sudah mengepung mereka. Mereka seperti hewan buruan yang masuk perangkap. Tentara Jepang yang bengis dan tak pandang bulu memulai aksinya.
Mereka menarik paksa gadis-gadis. Para pria juga tak bisa banyak melawan. Bram menatap bengis pada mereka. Ia mempererat pelukannya pada anaknya. Hatinya meradang karena ia melihat sosok Iron berdiri di sana. Iro menghindari pandangannya. Semua digelandang tanpa ampun ke dalam truk.

Grep!! Sebuah tangan menariknya ketika Bram hampir menaiki truk itu.

"Kamu ikut saya!!" kata Iro tak melepaskan tangan itu.

"Lepas .." Bram menolak mentah-mentah tawaran itu. Bagaimana ia bisa terbebas sendiri sedangkan yang lain seperti ini.

"Jangan banyak tingkah!" sahut tentara lain yang geram melihat tingkah Bram.

Iro mengangkat tangannya tanda bahwa ia akan mengatasi ini sendiri. Karena tak mau jadi pusat perhatian dan demi keselamatan Romi, Bram setuju ikut dengannya.

Bram di ajak masuk ke dalam mobil militer berdua dengan Iro. Ia membuang muka. Tak mau memandang wajah Iro sama sekali. Keheningan mencekam di dalam mobil itu. Tak ada satupun yang mau bersuara.

"Bram...." suara Iro lirih.

"Jangan panggil namaku."

"Aku tahu kamu pantas marah. Aku juga tidak dengan senang hati melakukan ini. Maaf... Sungguh maaf aku membahayakanmu dan anak kita."

"..." Bram tak menjawab atau membantah. Yang ia tahu perasaannya sangat berantakan sekarang. Tak tahu mana yang harus ia dahulukan dan ia tinggalkan.

"Bram..." Iro menyentuh tangan Bram. Bram menepisnya kasar.

"Apa kamu tahu hasil perbuatanmu dan para bawahanmu? Semua hancur, banyak mayat dan penduduk yang terluka. Seharusnya aku jadi salah satunya."

"Hushh.. jangan bicara konyol. Aku akan berusaha menyelamatkanmu kapanpun itu. Tenang dan percaya padaku."

"Apa ada yang tersisa darimu yang bisa aku percayai? Apa kamu Iro kekasihku atau kamu hanya Iro tentara Jepang? Otak dan hatiku tak sejalan. Ini sangat menyiksaku, Iro." Bram terisak. Ia sudah tak kuasa lagi membendung air mata. Iro menghentikan mobilnya. Ia menatap kekasihnya.

"Maaf... Aku yang bersalah. Kamu nggak salah. Salahkan semua padaku. Jangan menanggung perasaan bersalah di pundakmu, aku yang akan menebus semuanya nanti."

"Hiks hiks.. kamu mau membawaku ke mana?" Bram tak berhenti menangis. Tangisnya makin kencang. Romi terbangun jadinya.

"Ke rumah dinas di kota. Itu akan aman untukmu dan Romi. Hanya aku dan jenderal yang memiliki akses ke sana."
Bram tak merespons. Ia sudah tak bisa marah ataupun menolak. Ia mengangguk pasrah.

Gerbang tempat dinas itu sangat besar. Rumah dinas itu terletak di pinggiran kota. Jadi walaupun di sebut kota, tetap saja itu hening dan sepi. Hanya beberapa tentara yang lalu lalang berpatroli. Bangunan kuno itu sepertinya sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Arsitekturnya bagus dan mewah. Bangunan utamanya sendiri di keliling taman.

Iro melajukan mobilnya melewati gerbang dan berhenti di depan bangunan utama.

"Ayo masuk!" ajak Iro. Ia membukakan pintu bagi Bram.

"Aku akan menggendong Romi." ujarnya lagi. Mereka mengobrol sambil masuk ke dalam. Walaupun dari luar terlihat tua, dalamnya masih sangat terjaga. Dan layak disebut sebagai kediaman dibanding rumahnya di desa.

"Dimana ini? Aku tak tahu ada tempat seperti ini di sekitar desa."

"Ini sangat jauh dari desa. Karena naik mobil jadi cepat sampai."

"Ohh ... lalu Iro, bagaimana nasib penduduk yang lain? Apa mereka akan selamat?" tanya Bram ragu-ragu.

Iro tak bisa menjawab. Ia takut jawabannya adalah kebohongan dan kejujuranya adalah kepahitan.

"Mereka mungkin tak akan selamat." Iro jujur.

"Apa maksudmu? "

Iro menggeleng tak bisa berkata lagi.

"Mereka akan mati?"

"Aku tak tahu. Mereka akan dikirim ke camp lain sebagai budak tambahan."

Bram terkejut mendengar jawaban Iro.

"Lalu aku dan Romi?" tanyanya parau "bagaimana dengan kami?"

"Aku akan menjaga kalian. Aku janji. Percaya padaku. Aku akan meminta ijin pada jenderal untuk itu."

Iro memeluk tubuh Bram yang gemetar. Ternyata ia hanya mencoba kuat. Dalam hati kecilnya juga pasti menciut. Kemana ia harus pergi kalau Iro tak menjaganya. Dekapan itu seperti rumah baru baginya. Kampung halamannya.

------

Happy reading..
Maaf kalau g langsung full updatenya chapter ini, mau ngetik ngantuk gitu 😄untung uda beres...
Ketemu lagi di next chapter..
Jangan lupa komen dan votenya ^^...

Masih mikir mau di bawa kemana dua kapal kita ini?

DARK LOVE (BL) (Mpreg)Where stories live. Discover now