chapter 22

6.2K 564 19
                                    

Kapal berisi ratusan orang itu mengarungi lautan yang sedang berombak menuju daratan yang sudah terlihat. Maeda dan Iro juga berada di antaranya. Mereka berdesakan karena memang kapal itu kelebihan muatan. Nyeri di seluruh tubuh Maeda tak dihiraukannya yang ada di angannya hanya bertemu kekasihnya. Di dalam kapal, mereka juga mendapat jatah makan tetapi harus berebut. Maeda yang tak terbiasa hanya menatap kerumunan itu. Tak berniat untuk ikut. Sedang Iro ikut beradu di sana demi sebuah jagung atau ubi rebus. Ia mendapat dua buah. Dan membaginya dengan Maeda.

"Apa ini?"

"Itu ubi."

"Bentuknya tidak meyakinkan." Maeda menatap ubi yang bentuknya tak karuan itu.

"Apa yang anda harapkan?" Iro hanya geleng-geleng kepala.

Dari kejauhan terlihat tepian daratan. Maeda dan Iro berbinar. Ini adalah saat yang mereka tunggu-tunggu. Kapal pun menepi. Begitu melihat daratan semua penumpang langsung berebut untuk turun.

"Ayo kita juga turun!" ajak Maeda.

"Baiklah."

Mereka menuruni kapal dan menuju papan informasi di tepi pelabuhan. Mereka sedang memperkirakan jarak tempuh untuk ke desa. Itu ternyata cukup jauh.

"Apa kamu punya uang?" tanya Maeda.

Iro mengangguk. Untungnya dia sudah mempersiapkan diri. Ia menaruh uang yang dalam bajunya.

"Ayo kita naik delman!" ajak Iro. Itu adalah kereta yang ditarik oleh kuda. Dan biasanya digunakan untuk transportasi rakyat.

"..." Maeda terdiam. Ia belum pernah naik itu sebelumnya.

"Uangnya hanya cukup untuk itu" lanjut Iro.

"Baiklah." Maeda mau tak mau akhirnya setuju.

Tak jauh dari pelabuhan sudah ada kumpulan delman yang mangkal. Mereka berdua menaiki delman itu menuju desa.

"Dari mana toh?" tanya kusir delman.

"Dari Jepang." jawab Iro.

"Ohh kalian tawanan yang diangkut kapal hari ini. Kalian mau ke desa ?"

"Iya benar."

"Desanya belum diperbaiki. Pemerintah menyediakan rumah bantuan sementara. Itu di dekat desa."

"Baiklah kesitu saja."

Delman pun melaju ke sana. Maeda memandangi tempat yang disebut rumah bantuan itu. Tak layak disebut rumah batinnya. Iro membayar delman dan mengajak Maeda masuk. Mereka bertanya pada penduduk di sana. Tapi tak ada yang mengetahui ciri-ciri Bram ataupun Surya.

"Tidak ada orang dengan ciri-ciri itu." kata seorang penduduk.

"Benarkah?" Iro terlihat kecewa. Kemana kiranya mereka berdua pergi. Hanya ini tempat yang mungkin mereka tuju.

"Sebentar. Kamu bilang membawa anak?" seorang dari penduduk terlihat mengingat-ingat.

"Benar."

"Ah , iya beberapa hari lalu ada yang diusir dari sini. Itu dua pemuda yang membawa anak. Tapi mereka itu anteknya Jepang."

"Satu menggendong bayi, sedang lainnya menuntun seorang anak. Ada warga yang mengenali salah satunya sebagai kekasih jenderal Jepang." tambah yang lain.

Deg!

Jantung Maeda seperti akan copot mendengarnya. Apa yang dimaksud itu adalah Surya batinnya.

"Lalu kemana mereka?" tanya Maeda tak sabar.

"Kami tidak tahu. Saat itu sudah malam. Mereka diusir pergi oleh warga."

Kaki Maeda dan Iro seakan lemas. Kemana mereka harus mencari Surya dan Bram. Negara ini luas. Mereka pergi dengan tangan kosong.

DARK LOVE (BL) (Mpreg)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora