chapter 21

6.1K 534 25
                                    

Bunyi kemenangan mengumandang di seluruh wilayah Indonesia tertanggal 17 Agustus 1945. Akhirnya Indonesia mengumumkan kemerdekaannya. Huru hara proklamasi masih menyelimuti suasana di mana-mana. Di antara keriuhan itu tampak seorang pemuda menggendong bayi dalam dekapannya keluar dari rumah sakit. Surya berjalan dengan tertatih memecah kerumunan massa yang sedang menyalakan kembang api ataupun obor. Malam yang semakin dingin menusuk tulang. Di sampingnya ada Bram yang menuntun Romi, anaknya. Tatsuya sedikit rewel karena hawa dingin. Walaupun belum pulih benar, Surya sudah diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit.

"Aku sudah mendaftar ke rumah bantuan. Kita bisa ke sana sambil menunggu desa diperbaiki." Bram menenteng tas besar berisi pakaian mereka.

Surya menatapnya,"Baiklah. Apa kita langsung ke sana sekarang? Rasanya semakin dingin."

"Iya ayo. Tatsuya sepertinya tak nyaman. Selimuti dia dengan ini" Bram mengeluarkan kain tebal yang bisa dijadikan selimut.

"Iya terima kasih."

Mereka melangkahkan kaki pergi menjauh dari sana. Lampu minyak yang dipegang Bram menerangi jalan mereka. Tibalah mereka di rumah bantuan yang disediakan. Itu hanyalah bangunan sederhana terbuat dari kayu tipis dengan pintu dan jendela kecil di masing-masing sekatnya. Bangunan bersekat itu dibagi dengan angka.

"Ini tempat kita." Bram berhenti pada ruangan yang mereka tuju.

Baru saja mereka akan beristirahat, ada suara yang menghentikannya untuk masuk.

"Kamu kan kekasih jenderal itu?" ucap seorang pemuda dengan kaki yang pincang. Sontak kata-kata itu menarik perhatian semua mata yang ada di sana.

"Iya aku ingat. Jenderal Jepang itu membawamu kemana-mana. Kamu kekasihnya!" Laki-laki itu histeris. Mentalnya sepertinya terganggu tapi ia bisa mengenali sosok Surya yang selalu di bawa oleh Maeda. Laki-laki itu pernah diperkerjakan paksa sebagai romusha atau budak kasar bisa mengingat jelas wajah Surya.

"Mana mungkin.. dia pria" penduduk lain yang ada di sana sepertinya tak percaya. Mereka memandangi Surya dan Bram tak senang. Seperti melihat serangga menjijikkan.

"Lihat mereka membawa anak." ujar yang lain.

"Usir mereka. Mereka tak bisa di sini. Mereka bersenang-senang dengan orang Jepang saat bangsanya sendiri tersiksa." cibir yang lain.

"Tolong tinggalkan saja tempat ini. Atau kami akan melaporkan kalian. Kalian pengkhianat bangsa!" salah seorang menengahi yang lain.

Lidah Bram dan Surya seolah keluh tak mampu beralasan ataupun membantah. Memang bisa dibilang mereka berkhianat karena kekasih mereka ada si pihak musuh. Surya dengan gemetaran mendekap erat bayinya. Tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih tak mampu menahan tekanan dari orang-orang.

"Kami akan pergi!" jawab Bram mantap. Ia mengajak Surya untuk beranjak. Dengan langkah kaki yang berat mereka pergi dari sana. Hening. Keduanya tak mengucap sepatah kata pun sepanjang jalan yang mereka lalui. Sepertinya ini karma mereka. Lalu di mana harus berteduh malam ini, angin yang berhembus mulai membuat tubuh menggigil.

"Aku tahu suatu tempat. Tapi itu mungkin tak terlalu membantu. Kita tak punya pilihan lain." Bram hanya punya satu tempat yang bisa ia tuju.

"Baiklah, Bram. Dimana itu?" tanya Surya. Ia berusaha tegar dengan keadaan.

"Ayo kita bisa membeli makanan dengan sisa uang yang ada. Lalu pergi ke pondok tua di dekat persawahan. Itu mungkin kosong. Kita juga punya selimut.Mari mencari tempat lain besok pagi."

"Ayo itu pilihan terbaik saat ini."

Romi mulai rewel karena mengantuk. Bram dengan sigap menggendongnya di punggung. Tatsuya mulai lelah dan haus. Ia mulai menangis keras.

DARK LOVE (BL) (Mpreg)Where stories live. Discover now