chapter 20

6.7K 543 2
                                    

Senja itu langit tak nampak indah. Pikiran Maeda berkecamuk tak karuan. Ia menerawang jauh ke arah awan. Ia memegangi kepalanya yang pening. Ia terpaksa pergi meninggalkan Surya sendirian di sana. Tak tahu menahu bagaimana kondisi terkini dari Surya membuatnya tercekik. Apa Surya bisa melewati proses melahirkan ? Apa ia baik-baik saja? Darahnya seakan mengering memikirkan hal itu. Pesawat yang ditumpanginya mengangkut petinggi-petinggi Jepang yang terpaksa kembali ke negara asalnya.

Tak jauh berbeda, Iro juga terlihat kusut. Ia memikirkan Bram dan anaknya. Ia yang tak sempat mengucapkan perpisahan. Ia merasa tak berdaya karena melanggar janji. Saat ini hanya langkah ini yang bisa ia ambil. Jika tetap di sana artinya bunuh diri.

Belum sampai mereka di Jepang. Mereka sudah menerima kabar bahwa bom kedua telah dijatuhkan di kota Nagasaki yakni tanggal 9 Agutus 1945.

Ketika para Jenderal tiba di ibukota Jepang. Para petinggi dan kaisar Hirohito yang menjabat saat itu berkumpul untuk mengadakan rapat darurat. Semua nampak gusar terutama Kaisar Hirohito. Kekalahan jelas tak bisa mereka hindari lagi. Kaisar bertanya berapa jumlah guru tersisa yang mereka miliki. Sontak para jenderal yang berkumpul bingung. Mereka menyanggupi akan tetap melindungi kaisar, sisa tentara mereka masih mampu. Maeda sebenarnya memahami apa maksud kaisar berkata begitu.

"Bukan itu maksudku. Kita sudah jatuh. Itu tak terelakan lagi. Mau tak mau kita harus menyerah. Kita terlalu mengandalkan kekuatan militer. Kita kalah dari amerika karena kita tidak tahu bom apa yang dijatuhkan Amerika itu"

"Kita bisa bertarung hingga mati." sahut salah seorang jenderal.

"Benar. Kita masih bisa melawan."

"Sudah cukup. Sudah dua kota besar yang hancur. Kita bisa memulihkan keadaan dengan adanya para guru."

"Lalu apa langkah kita selanjutnya?"tanya Maeda. Sebenarnya di pikirannya hanya tertuju pada Surya. Ia harus segera menyelesaikan masalah ini agar bisa menjemput Surya.

Semua Jenderal dari semua negera jajahan Jepang berkumpul di sana. Dari Cina, Korea, Indonesia dan masih banyak lagi. Mereka mengaku bahwa para pasukan dari negara jajahan sudah memukul mundur militer mereka. Itu karena berita pengeboman sudah menyebar seperti api yang tertiup angin.

"Kita sudah kehilangan kekuatan. Menyerah sekarang adalah keputusan bijak" kaisar mengakhiri rapat.

Beberapa diutus ke daerah terdampak. Beberapa harus membenahi masalah yang terjadi di ibukota. Mereka harus menarik mundur sisa pasukan mereka. Sisanya harus mengumpulkan sisa guru yang ada.

"Lalu bisakah aku pergi ke Indonesia? Ada urusan yang belum aku selesaikan" pertanyaan retoris yang ia ajukan mengundang perhatian yang lain.

"Kamu mau bunuh diri? militer mereka sudah terbentuk dan mereka tak akan berkompromi lagi. Indonesia sepertinya sudah menunggu momen ini. Mereka akan mengumumkan kemerdekaan. Jadi entah itu urusan pribadi atau negara, itu sangat beresiko." Kaisar menjawab Maeda. Bukannya ia tak tahu hal apa yang ingin Maeda lakukan.

"Sial!" Maeda hanya bisa mengumpat di tengah rapat yang berlangsung. Iro yang berdiri di belakang Maeda hanya bisa menunduk. Kakinya terasa lemas. Bagaimana jika ia tak bisa menginjakkan kaki lagi di Indonesia. Bagaimana caranya menemui kekasihnya.

Serangan bom yang beruntun itu membuat Jepang makin terpojok. Korban sipil dan militer bergelimpangan. Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan serta hancurnya satu kota lagi tersebut memberi pukulan telak pada pihak Jepang. Hingga mau tak mau mereka harus mengaku kalah di perang dunia II. Jepang dipaksa menyerah tanpa syarat.

Berbeda dengan suasana di Jepang yang berantakan, di Indonesia sedang mempersiapkan kemerdekaan. Surya menatap kosong ke arah jendela kamar inapnya. Itu yang menghadap langsung ke arah jalan menunjukkan gegap gempita dari rakyat yang bersorak. Akhirnya mereka terbebas dari penjajahan dan penindasan tiada henti. Darah, keringat, tulang dan air mata seakan terbayarkan dengan kemerdekaan ini.

"Ayo makan." suara Bram menyadarkan lamunan Surya. Sudah beberapa hari ini dia seperti itu batin Bram.

"Anakmu harus menyusu kalau kamu tak makan, bagaimana nasibnya?" Bram mengomelinya. Surya hanya mengangguk lesu dan memasukkan sesuap nasi pada mulutnya. Penyembuhan Surya yang lambat membuatnya masih tertahan di rumah sakit. Ini juga akibat stress yang dialaminya.

"Lekaslah pulih. Ayo kita pulang bersama!" ajak Bram.

"Kita tak punya rumah" jawab Surya sayu.

Rumah dinas itu jelas disita pihak pemerintahan. Mereka hanya bisa mengambil barang yang bisa dibawa dengan tangan saja. Bram sudah mengambil pakaian dan keperluan mendesak mereka. Lainnya ia tinggal begitu saja.

"Itu... pemerintah menyediakan rumah bantuan bagi yang kehilangan rumah." Bram mendapatkan berita itu di pengumuman yang tercetak di alun-alun.

"Hmm.. begitu..syukurlah" Surya tak ada tenaga untuk menanggapi lebih lanjut.

"Tolong tetap kuat, Surya. Tatsuya sangat membutuhkanmu. Kamu harus menjaganya dengan ataupun tanpa suamimu." kata-kata menohok yang Bram ucapkan membuat Surya menoleh.

"Hikss hikss ini berat. Aku tak tahu harus bagaimana? Aku bahkan tak tahu dia masih hidup atau mati sekarang."

"Aku juga begitu. Tapi ada anak yang harus kita jaga." Bram menepuk punggungnya mencoba memberi kekuatan padanya.

"Benar. kamu benar..hikss"

"Baiklah. Mari kita mulai dari kesembuhanmu dulu."

"Iya. Aku harus keluar dari sini secepatnya"

"Ah ini waktu Tatsuya menyusu. Aku akan mengambilnya. Tunggu di sini." Bram berlalu meninggalkan Surya sendirian. Surya menghela nafas panjang. Dipandanginya Romi yang tertidur di kursi. Ia sangat berterima kasih pada Bram karena merawatnya selama ini.

"Aku berharap kamu baik-baik saja, tuanku. Entah kita bertemu lagi atau tidak di masa depan." ucap Surya pada dirinya sendiri.

Bram menggendong masuk Tatsuya yang sudah terlihat rapi setelah dimandikan. Ia mengenakan baju, celana hingga topi yang dulu Surya rajut untuknya. Kaos kaki kecil yang ia kenakan membawa kenangan indah saat Maeda masih bersama mereka. Surya menimang anaknya itu. Tatsuya yang kehausan mulai bergerak tak nyaman. Ia menghisap sarung tangannya dan mulai menangis.

"Cup cup cup!!" Surya menenangkannya lalu menyusuinya. Tak berapa lama, Tatsuya terlelap juga. Surya menaruhnya pada kotak bayi di sebelahnya dan mengayunkannya perlahan. Bram hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Surya sudah mulai terbiasa merawat Tatsuya. Tak canggung lagi seperti awal dulu. Bram berpikir berangsur-angsur ia dan Surya pasti bisa melewati semua ini. Rindu jelas menggerogoti hati mereka. Tapi seiring waktu berlalu mungkin mereka bisa tersembuhkan.

--------
Happy reading.. Semoga suka ...
Jangan lupa vote dan komen ^^

DARK LOVE (BL) (Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang