Bagian 2

955 120 54
                                    

Delapan jam kemudian, Hanin dan Dafan tiba di Stasiun Semarang Poncol. Hawa panas kembali menyerang, kala mereka keluar dari area stasiun. Sengatannya tidak jauh berbeda dengan Bekasi. Para supir taksi dan ojek berebut mencari penumpang di bibir pintu keluar.

Hanin dan Dafan memilih untuk mendudukkan diri di kursi depan dulu. Meregangkan badan, setelah setengah hari berada dalam gerbong. Dan memutuskan memesan taksi online melalui aplikasi saja.

Ini bukan pertama kalinya Hanin ke kota ini. Tiga tahun lalu, Hanin diajak Mama untuk mengunjungi rumah teman Mamanya di sini. Seketika, perasaan rindu yang tak bisa diungkapkan menyusupi dada Hanin.

Tak butuh waktu lama, taksi yang mereka pesan tiba. Mereka mengarahkan sang supir untuk langsung menuju kampus lebih dulu. Sekitar tiga puluh menit berikutnya, mereka sudah tiba di lokasi kampus yang sejuk dan asri. Karena letaknya sedikit berada di ketinggian. Suhunya tidak sepanas di stasiun tadi.

Pukul tiga sore, tetapi suasana kampus masih terasa kesibukannya. Hanin membatin, pemandangan seperti ini akan ia lihat setiap hari nantinya.

"Nah kalau itu perpustakaannya. Mau coba masuk?"

Dafan menjelaskan tiap bagian kampus pada Hanin. Menurut Hanin, Dafan sudah cocok menjadi tour guide, karena penjelasannya mudah dimengerti.

"Nggak perlu. Nanti aja kalo gue betulan jadi mahasiswi di sini," tolak Hanin.

Dafan pun hanya menurut. Mengajak Hanin melanjutkan perjalanan.

Hingga tak lama, mereka tiba di sebuah gedung bertuliskan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Mereka menghentikan langkah.

Hanin mengeluarkan ponsel dari tas punggungnya. Lalu diarahkan pada gedung bertingkat tiga tersebut. Mengambil angle yang tepat, untuk memotretnya.

"Sini, gue fotoin," tawar Dafan.

Hanin cepat-cepat menggeleng. Tidak mau difoto.

"Udah buruan!"

Kini Dafan sudah mendorong bahu Hanin agar membelakangi gedung tersebut dan menghadap ke kamera ponsel Dafan. Hanin berdiri kikuk. Tidak pandai berpose. Hanya tersenyum tipis dan menegakkan badan.

"Ganti gaya, dong, Nin. Gini, kek. Atau gini."

Dafan memperagakan mengangkat satu kakinya, menghadap samping, lalu kedua tangan seperti mendorong angin ke bawah. Lalu menggantinya dengan gaya menyangga dagu. Tak ketinggalan ekspresi menjulurkan lidah dan menggembungkan pipi, bergantian ia tampilkan. Terlihat konyol di mata Hanin. Hingga tak bisa ia tahan tawa kecilnya.

Pada saat itulah, Dafan menjalankan tugasnya. Tak sia-sia ia bertingkah seperti tadi. Karena ia mendapat foto Hanin yang sangat manis, meski pandangan gadis itu tak tertuju sepenuhnya ke arah foto. Namun rautnya memancarkan kebahagiaan. Rasanya, ia ingin mencetak foto itu besar-besar. Lalu ia tempelkan di dinding kamarnya, agar bisa ia pandangi setiap waktu.

"Ayok, lanjut lagi," ajak Hanin memecah lamunan Dafan.

Mereka mengitari segala area kampus. Sesekali Dafan mengajak Hanin beristirahat. Karena jarak antar gedung tidaklah dekat.

***

Kini Dafan dan Hanin sudah mendaratkan pantat di bangku warung dekat kampus. Sudah satu jam lamanya mereka berjalan-jalan. Perut Dafan sudah meronta meminta diisi.

Dafan memesan bakso dua porsi. Sementara Hanin hanya memesan es teh dan mencomot roti yang ada di meja.

"Emang lo nggak laper?" tanya Dafan sembari menyantap satu mangkuk baksonya.

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now