Bagian 30

224 25 6
                                    

Hanin menggeliat dalam tidurnya. Kasak kusuk Mamanya yang sedang bersiap untuk berangkat mengajar, terdengar hingga dalam kamarnya. Ia pun terjaga. Duduk sebentar mengumpulkan seluruh kesadarannya. Lalu keluar menemui Mamanya.

"Hanin boleh ngomong sebentar sama Mama?"

Kegiatan memasak Hena terjeda. Terdengar dari nada suara Hanin yang sangat serius di pagi hari ini. Hena mengangguk. Mempersilakan anaknya berbicara.

"Hanin mau gap year, Ma."

Mama Hanin kini berbalik sepenuhnya menatap putri satu-satunya itu. Ditelisiknya bola mata yang sarat akan gelisah. Tersadar kompor masih menyala, Hena inisiatif mematikannya lebih dulu.

Hanin mendekat ke arah kompor. Berdiri tepat di depan mamanya. Dalam hati harap-harap cemas. Menunggu respon Mamanya yang seperti sedang mengolah ucapan Hanin tadi.

"Kenapa enggak mau nyoba ujian mandiri atau masuk kampus swasta?"

Sudah Hanin duga, ia akan mendapat pertanyaan macam ini dari Mamanya. Tak mungkin ia mengatakan bahwa tidak mau membebani Mamanya dengan biaya kuliah yang mahal. Pastilah Mamanya itu akan terus memaksa Hanin agar mengikuti dua pilihan tersebut. Apalagi sampai menceritakan kejadian beruntun yang ia alami selama di Semarang kemarin. Sangat tidak mungkin.

"Hanin capek, Ma. Dua kali gagal membuat Hanin takut untuk mencoba lagi di tahun ini. Hanin ngerasa butuh istirahat. Hanin juga harus persiapan lebih matang lagi. Supaya tahun depan bisa lolos SBMPTN di kampus yang Hanin idamkan," balas Hanin dengan penuh keyakinan.

Terdengar desahan keras dari mulut Mamanya. Lalu, senyum sehangat mentari di pagi ini terbit di wajah cantik yang mulai menua itu.

"Ya. Kalau keputusan kamu sudah bulat, Mama cuma bisa mendoakan yang terbaik buat anak kesayangan Mama ini. Jadi, Mama masih punya waktu satu tahun lagi, sebelum nantinya kamu jadi anak rantauan!" ucap Mama Hanin gemas, sembari mencolek hidung mancung anaknya. Dengan tawa pecah, mereka saling berpelukan. Saling menguatkan.

***

Hanin kembali ke kamar. Mamanya sedang sarapan. Selepas itu akan berangkat. Hanin yang masih menganggur hendak melanjutkan tidurnya yang tersela. Namun, sebuah notifikasi pesan, masuk ke nomornya.

Sepedaan kuy?

Dari Dafan. Hanin menimbang ajakan cowok itu. Namun, mengingat kejadian semalam....

Terkejut! Hanin terhenyak di tempat, karena dering lebih panjang menggema di penjuru kamarnya.

"Lo udah bangun kan?" tanya Dafan di seberang sana.

Hanin menggumam pelan. Membenarkan.

"Ayok sepedaan!" Dafan mengulang ajakannya di WhatsApp tadi.

"Gue udah lama nggak sepedaan. Nggak tahu sepedanya masih bisa dipake apa enggak."

"Gue otw rumah lo sekarang!"

"HAHHH?!!! JANGAN!" Hanin sontak berteriak keras.

"Kenapa?"

"Gue belum mandi!" aku Hanin malu.

Dafan tergelak di sana. Membuat Hanin makin menciut.

"Lo pikir gue udah?"

Setelah itu, panggilan diputus sepihak. Membuat Hanin geram dengan cowok itu.

Tak lama setelahnya, suara teriakan Dafan terdengar. Nadanya seperti anak kecil yang hendak mengajak temannya bermain. Persis!

Hanin buru-buru menuruni anak tangga. Bertemu dengan Mamanya yang sudah bersiap untuk berangkat.

"Dafan tuh!" tunjuk Mamanya dengan dagu, melihat Dafan memasuki pekarangan rumah Hanin, dari jendela.

Hanin bergegas membukakan pintu. Gadis itu segera tersadar bahwa ia masih mengenakan piyama tidur Hello Kitty! Ufhhh! Memalukan!

Dafan menyapa Mama Hanin ramah. Berbincang sebentar. Mengutarakan keinginannya untuk mengajak Hanin bersepeda. Sekaligus meminta izin.

"Oh, boleh! Kebetulan nih anak susah banget disuruh olahraga. Ajakin aja dia! Tuh sepedanya di dalam garasi. Enggak tahu bannya kempes apa enggak. Cek dulu aja," ucap Hena panjang lebar. Diselipi dengan membuka aib anaknya pada anak tetangga depan rumahnya itu.

Setelahnya, Mama Hanin pamit berangkat. Dafan diantar Hanin menuju garasi. Ternyata benar, sepeda gunung yang lama tak terpakai itu kempes. Dafan mengambil pompa ban yang ada di sudut ruangan. Sementara Dafan sedang membetulkan sepeda Hanin, Hanin pamit untuk naik ke atas. Bersiap terlebih dahulu.

"Nggak usah mandi!" titah Dafan dengan nada mengejek.

***

Belum ada setengah jam berkeliling komplek, Hanin sudah merasakan lelah. Maklum, olahraga bukan hal yang ia senangi. Keringat mulai mengucur di seluruh tubuh. Yang paling banyak di area dahi.

Rambutnya diikat ke atas menjadi satu. Tanpa menyisakan poni sedikit pun. Sehingga terlihat jelas kilatan keringat di seluruh wajahnya.

Dafan yang mulai merasakan kayuhan Hanin mulai melambat, menawarkan diri untuk beristirahat. Namun, Hanin menolak. Nanggung, katanya.

Ketika melewati warung bubur ayam, Dafan menghentikan kayuhannya. Begitu juga dengan Hanin yang berhenti agak jauh dari Dafan yang berada di belakangnya. Dafan melambaikan tangan. Meminta Hanin putar balik. Dengan agak jengkel, cewek itu menurutinya.

Ketika Hanin sampai, Dafan sudah lebih dulu masuk ke warung bubur ayam tersebut. Bahkan, cowok itu sudah memesankan dua porsi bubur ayam untuk keduanya.

"Percuma olahraga lo pagi ini, Kak!" sindir Hanin terang-terangan.

"Yee! Namanya juga laper!"

"Terus itu dua beneran buat gue juga, apa buat lo semua?" tanya Hanin ragu. Ia teringat ketika Dafan memesan dua mangkuk bakso yang dihabiskan dalam waktu singkat, kala itu.

"Gausah ngeledek ya!" ucap Dafan gemas, menjitak pelan kepala Hanin yang duduk di seberang meja.

Tak butuh waktu lama, pesanan mereka siap. Dafan mempermasalahkan cara makan bubur ala Hanin yang tidak diaduk. Sebuah perdebatan klise, tetapi sering dilakukan oleh orang-orang yang akan menyantap bubur.

Keduanya sudah selesai menghabiskan bubur masing-masing. Dafan yang terbiasa makan dengan cepat, harus menunggu Hanin yang merasa porsi buburnya kebanyakan. Dengan penuh perjuangan, bubur milik Hanin pun tandas. Mereka pun berjalan menemui abang penjualnya. Hendak membayar pesanan mereka tadi. Ketika itu, datanglah pembeli baru yang menyita perhatian keduanya.

"Dafan?!"

Seorang cewek dengan bandana hitam yang menahan poninya agar tidak menutupi wajah, menyapa Dafan akrab. Sebuah handuk kecil melingkari lehernya. Dengan kaus lengan pendek dan training hitam, dapat dipastikan cewek itu habis lari pagi.

"Lena?"

Ya, kini Hanin tahu. Perempuan yang ia lihat semalam dari atas balkon bernama Lena. Tanpa Hanin ingin ketahui lebih lanjut hubungan mereka, gadis itu sudah meninggalkan Dafan dengan mengayuh sepedanya kencang-kencang.

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang