Bagian 24

197 27 20
                                    

Kepala Hanin terasa berat. Bagaimana tidak? Sejak kemarin siang hingga dini hari tadi, Hanin menangis berkali-kali. Kondisi tubuhnya benar-benar memprihatinkan. Patah hati dengan orang yang bahkan belum sempat dimiliki, rasanya semenyakitkan ini!

Perhatian yang Azam berikan selama ini, rupanya hanya sebatas "Kakak" yang menyayangi "Adiknya". Namun mirisnya, sang "Adik" justru berpikir lebih. Atau justru sang "Kakak" yang sudah berlaku kelewatan? Jika saja ditegaskan dari awal kejelasan hubungan mereka, kejadian seperti ini tak mungkin terjadi. Dan mengapa pula, Azam tak memberitahunya bahwa ia sudah memiliki pujaan hati, bahkan sudah mengikatnya untuk menuju ikatan suci? Apakah karena Hanin memang tak berarti dalam hidup cowok itu? Atau apa?

Hanin membiarkan seluruh pertanyaan itu berputar-putar dalam kepalanya. Ketimbang bertanya langsung pada sang pelaku, yang nantinya akan membuat Hanin lebih terluka lagi. Padahal, sejak semalam Hanin menyalakan ponsel, rentetan pesan dan panggilan tak terjawab dari Azam memenuhi notifikasinya.

Hingga pagi ini, Hanin sama sekali tak berniat untuk menggubrisnya. Ia memutuskan untuk tak lagi menemui cowok itu. Hal itu akan menunjukkan bahwa selama ini, Hanin terlalu berharap pada cowok itu. Dan Hanin tak ingin membuat Azam semakin membumbung tinggi dengan kemenangannya.

"ARGHHHHH!" Hanin berteriak geram. Menutup mukanya dengan bantal. Berguling ke sana ke mari. Menghilangkan bayangan Azam yang muncul bagai hantu di otaknya.

"Oke! Fine! Cukup, Nin! Cukup!"

Hanin meraih ponselnya kembali. Menekan kontak Azam. Memasukkan nomor tersebut dalam daftar blokiran Hanin. Karena sekali lagi notifikasi dari Azam masuk, pasti akan membuat Hanin lebih uring-uringan.

Ketika akan menekan tombol kunci, notifikasi dari aplikasi WhatsApp-nya kembali masuk. Tumben! Biasanya tidak ada yang mengiriminya pesan selain Mamanya, Azam dan juga Dafan yang akhir-akhir ini menawarinya sesuatu. Jumlah kontak Hanin saja di bawah angka 50.

Halo, Nin! Ini gue Nio!

Hanin yang waktu itu sudah bertukar kontak dengan Nio tahu bahwa ini adalah nomor cowok itu. Mengapa tidak langsung to the point saja?

Iya. Gimana, Kak?

Langsung dibaca oleh Nio.

Sibuk nggak?
Gue mau minta tolong lo anter gue nyari kado buat doi gue nihh. Gue bingung soalnya!

Hanin mencebik! Apa maksudnya coba? Mau pamer kalau dia sudah mempunyai pacar? Terus kenapa ngajak Hanin? Kayak nggak ada orang lain aja! kesal Hanin dalam hati.

Butuh waktu beberapa menit untuk Hanin mempertimbangkan ajakan Nio barusan.

Ia mulai berpikir, tak ada salahnya kan, membantu Nio kali ini saja? Apalagi ia utang budi dua kali pada cowok itu. Ya sudah, Hanin menyetujuinya. Segera gadis itu mengirimkan alamat kosnya pada Nio. Setelahnya, Hanin bersiap diri. Setengah jam lagi, Nio akan menjemputnya.

***

Hanin keluar kamar sudah dengan pakaian rapinya. Tidak lagi baju tidur seperti sebelumnya. Di ujung tangga, Hanin bertemu dengan Madya. Satu-satunya penghuni kos yang Hanin kenal.

Madya membawa ember berisi pakaian basah yang sepertinya akan dijemur di balkon khusus jemuran baju.

"Mau ke mana rapi banget? Jalan sama doi ya?" goda Madya pada Hanin.

Hanin hanya tersenyum kecil menanggapi cewek itu. "Enggak. Mau nemenin temen nyari hadiah buat doinya."

Madya tergelak keras. Bahkan ember yang ia pegang seolah hendak terlepas dari genggaman, saking tidak kuatnya ia, akibat tertawa.

Hanin mengangkat alisnya. Apa yang salah dari ucapannya barusan?

"Sori ... sori," ucap Madya berusaha meredam tawanya. "Gini ya, kok masih ada orang yang mau repot-repot nemenin orang nyari kado buat pacarnya. Aku nggak mau tahu sih, temen kamu ini cowok atau cewek. Cuma ya, kok mau-maunya gitu lho?"

Hanin hanya tersenyum getir. Membenarkan ucapan Madya. Padahal Nio saja belum dikenalnya lama. Namun, lagi-lagi sisi lain Hanin yang berbicara. Dua kali Nio menolongnya, menjadi alasan kuat Hanin mau menerima ajakan cowok itu.

"Dari pada di kos. Gabut," ucap Hanin dengan alasan lain.

Madya pun paham. Tak mau lagi menggoda atau mencegah Hanin.

"Ya udah, deh. Aku jemur baju dulu kalo gitu. Mumpung panas," pamit Madya pada Hanin.

"INULLLLL! PAGI-PAGI JANGAN BERISIK! KUPINGKU SAKIT BANGET INIII!" jerit Madya keras ketika melewati kamar Inul yang sudah ramai oleh musik dangdut sejak matahari belum terbit tadi.

Hanin yang melihatnya, hanya mampu geleng-geleng kepala. Suara Madya kalah dengan suara musik yang Inul setel. Karena hingga Madya sampai di balkon, volume musik itu masih tak berubah.

Hanin sendiri belum pernah bertemu dengan orang bernama Inul itu. Tidak ada niatan juga untuk menemuinya. Bahkan untuk menegur pun, Hanin tak memiliki kuasa. Dirinya hanya orang baru di sini. Toh tak lama lagi Hanin akan kembali ke asalnya.

Hanin bergegas menuruni anak tangga. Nio sudah mengiriminya pesan. Dan ternyata benar, cowok itu sudah menunggunya di luar. Belum lama, kata Nio.

Setelah mengangsurkan satu helm untuk Hanin pakai, Nio melajukan motornya.

Di balik kepergian dua orang itu, ada satu pasang mata yang menatapnya dengan pandangan terkejut, bercampur cemas di saat yang bersamaan.

Jumat, 25 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Nah lhooo!

Hanin malah diajakin jalan sama Nio, dengan alasan minta ditemenin nyari kado buat doinya.

Hellow?! Beneran tuh? Apa cuma alesan doang, padahal aslinya mau PDKT sama Hanin?

Siapa juga orang yang khawatir ngeliat Hanin jalan sama Nio barusan?

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now