Bagian 23

187 32 2
                                    

Senja di taman komplek yang tak jauh dari kediaman tunangan perempuan tadi. Dua orang tengah duduk. Saling berdiam diri. Memberikan waktu dan ruang untuk seorang gadis yang patah hati.

Sejak siang tadi, ia masih belum mau diajak pergi. Bahkan ketika Azam beserta rombongan sudah melewatinya, karena acara sudah selesai. Hanin masih belum mau. Bungkam sejak tadi. Yang Dafan bisa lakukan hanyalah menemaninya. Sesekali menguap. Sesekali membujuk gadis tersebut.

"Gue kurang apa di mata dia, Kak?"

Dafan sedikit terperanjat. Keheningan itu akhirnya terpecah juga. Hanin mau membuka mulutnya lagi.

"Dia kurang bersyukur. Matanya buta, karena nggak bisa ngelihat cinta yang lo kasih," geram Dafan, mengingat wajah Azam.

"Gue terlalu bocah buat dia, kali ya?" tanya Hanin lagi, terus mencari kesalahan dalam diri.

"Dia yang ketuaan buat lo!" sahut Dafan tajam.

"Jadi gini ya rasanya berakhir cuma jadi Kakak-adekan?"

Isakan itu kembali hadir. Terdengar memilukan di telinga Dafan. Membuat Dafan tak dapat menahan diri lagi, untuk merengkuhnya dalam pelukan. Sudah cukup berjam-jam lalu, Hanin menangisi cowok brengsek itu.

"Dengerin gue, Nin. Lo nggak salah! Sama sekali nggak salah! Udah sangat jelas, bahwa dia nggak memilih lo! Sekarang waktunya lo bangkit! Move on! Dari kegagalan lo di SBMPTN. Dan dari si cowok brengsek itu!"

Hanin makin terisak. Tubuhnya bergetar hebat dalam pelukan Dafan. Niat hati menyambangi kota ini untuk mencari obat penyembuh kegagalan. Namun, semesta seolah tak mengizinkan Hanin sembuh dengan cepat. Dalam waktu berdekatan, Hanin kembali ditempa oleh luka yang lebih dalam. Lebih menyakitkan. Bahkan tak pernah ada dalam bayangan Hanin sebelumnya, orang yang dicintainya, tunangan dengan perempuan lain. Dan yang lebih menyedihkan, dirinya hanya dapat menyaksikan dari jauh. Tanpa penjelasan dan kejelasan apa pun. Untuk kedua kalinya, Hanin membenci senja di bulan Juli ini.

***

Selepas malam menggelayut, Hanin akhirnya mau diajak beranjak dari tempat tadi. Untuk ketiga kalinya, Hanin dan Dafan makan di tempat nasi goreng langganan mereka. Kali ini Hanin hanya ingin memesan teh hangatnya saja. Dengan tegas Dafan tak membiarkannya. Perut Hanin harus diisi. Karena sejak siang, mereka belum makan apapun.

"Nasi goreng atau kwetiau atau mi rebus?" tawar Dafan pada Hanin.

"Serah deh!" pasrah Hanin pada Dafan.

"Oke, Pak. Nasi gorengnya dua. Satu sedang, satunya pedas."

Beberapa menit kemudian, pesanan mereka jadi. Hanin meraih piring Dafan mendekat. Lalu nasi goreng di piring Hanin dibagi menjadi dua, untuk dipindahkan ke piring Dafan. Dafan membiarkannya. Separuh nasi goreng itu lebih baik, dari pada tidak sama sekali.

"Gue pengin balik, Kak."

"Besok?"

Hanin mengembuskan napas keras. Mengaduk-aduk nasi goreng yang menguarkan kepulan asap panas.

"Tapi gue nggak mau bikin Mama curiga!"

"Ya udah. Tetep lusa aja, ya? Besok kita jalan-jalan aja dulu di sini," ujar Dafan enteng.

"Enggak deh. Gue mau di kos aja besok seharian. Gue capek!"

Dafan mengangguk. Tidak mau memaksa gadis yang tengah terluka itu.

Lalu, tak lama setelah itu, seseorang mendekat ke meja keduanya.

"Hanin?" sapa cowok berjaket hitam tersebut.

Hanin mengerjapkan matanya. Mengingat-ingat cowok yang menyapanya ini.

"Kak Nio?" panggil Hanin setengah terkejut.

Hanin membatin, kenapa Nio selalu ada di mana pun Hanin berada? Ah, ini berlebihan! Ini kan memang daerah kampusnya!

"Nggak nyangka—"

"Kok kalian bisa kenal?!" tanya Dafan meninggi.

"Hallo, Bro?" Nio beralih pada Dafan yang duduk di seberang Hanin. Berusaha terlihat akrab dengan cowok itu.

"Kak Nio ini yang nolongin Hanin waktu tersesat di hutan kampus pas ujian SBM tempo hari," terang Hanin pelan. Ia sendiri bingung, Dafan terlihat sudah mengenal Nio. Namun, mengapa responnya seperti orang marah?

"Ini, Mas, pesenannya." Bapak penjual nasi goreng itu menghampiri meja Hanin dan Dafan. Menyerahkan sebungkus plastik pada Nio yang balik menyerahkan uang pas.

"Kalo gitu, kalian lanjut makan deh. Gue juga mau balik kos. Bye, Nin!" ucap Nio, yang hanya memberikan ucapan selamat tinggal pada Hanin.

Selepas kepergian Nio, Dafan tak sabar untuk bertanya banyak hal pada cewek itu.

"Sedeket apa hubungan kalian?"

Hanin mengerutkan dahi. Hanin tak suka Dafan melayangkan pertanyaan bernada tuduhan itu.

"Nggak deket sama sekali! Dia nolong gue dua kali. Di kampus. Sama di rumah waktu itu!"

"Jadi, dia udah tahu rumah lo di mana?" Dafan bertanya tak percaya dengan pernyataan Hanin. Sudah sejauh itu, dan Dafan baru mengetahuinya hari ini?

"Apaan sih? Emang kenapa coba?" Hanin balik bertanya.

Dafan menghela napasnya kasar. Memejamkan mata sejenak. Menahan emosi yang sudah terkumpul di ubun-ubunnya.

"Dengerin omongan gue kali ini aja. Jauhi Nio! Dia bukan cowok baik-baik!" kata Dafan tegas.

Hanin meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Menatap Dafan lekat-lekat. Mengangkat salah satu sudut bibirnya. Tersenyum miring.

"Emang lo sebaik apa sih, Kak? Sampai-sampai berani berburuk sangka gitu ke orang yang bahkan belum lo kenal!" sarkas Hanin pedas.

Emosi Dafan makin memuncak. Hanin tidak mempercayai ucapannya. Bahkan sampai mempertanyakan kebaikan Dafan selama ini pada gadis itu. Seolah apa yang Dafan lakukan selama ini, tak bernilai apa pun di mata Hanin. Hanin memanglah keras kepala! Dafan harus menjaga Hanin lebih ekstra lagi.

Kamis, 24 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Kira-kira hubungan Dafan dengan Nio apa ya?

Kok Dafan keliatan nggak suka gitu?

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now