Bagian 37

219 24 7
                                    

Seorang anak perempuan berusia enam tahun. Berlari riang di taman komplek. Satu gigi bawahnya, baru saja copot, tempo hari. Namun, ompongnya anak tersebut tidak membuat kelucuannya berkurang.

Rambutnya diikat di kanan-kiri. Setiap ia bergerak, ikatannya ikut bergoyang sesuai irama. Seseorang di belakang mengejarnya. Tawa mereka berderai bersamaan.

"Pah .... Hanin capek!" keluh anak tersebut. Terduduk di atas rerumputan hijau. Napasnya putus-putus.

Seseorang yang dipanggil "Papa", ikut duduk disampingnya. Melepas kacamatanya yang mulai berembun akibat keringat yang mulai menghiasi wajahnya.

"Hanin mau minum?" tanya Papa lembut, sembari mengusap puncak kepala anaknya.

"Hanin mau es krim, Pah!" seru Hanin seraya menunjuk gerobak es krim yang sedang mangkal di depan sana.

Seorang wanita bergabung bersama mereka. Duduk di sebelah Hanin. Membuat tubuh kecil Hanin diapit oleh dua orang dewasa tersebut.

"Eh .... Baru juga sembuh batuknya kemarin. Jangan dulu ya, Nak," larang Mama Hanin.

Mendengarnya, Hanin sontak cemberut. Keinginan untuk memakan es krim amatlah besar. Karena selama seminggu kemarin, ia sudah berpuasa terhadap "es" akibat sakit tenggorokan yang menderanya.

"Dengerin Mama, ya, Nak. Nanti, kalau Hanin udah pulih total, Hanin boleh makan es krim. Mau ya?" ucap Papa Hanin menengahi.

Hanin menatap Papanya. Mengangsurkan kelingkingnya. "Janji?"

Dengan senang hati Sang Papa menerima tautan tersebut. Setelahnya membawa anaknya dalam dekapan hangat. Bersama dengan Ibu dari anaknya. Hangat. Dan bahagia.

***

Hanin membuka matanya yang basah. Satu kenangan indah tersebut berhasil membuat tangis Hanin makin pecah. Matanya memerah.

Gadis tersebut masih mendekam dalam kamar Mamanya. Setelah tadi ia mendengar deru mobil menjauh dari rumahnya, Hanin tetap enggan melangkahkan kakinya keluar.

Bahkan ketika Syifa meneriaki namanya berkali-kali sejak kepergian Papanya. Bocah itu berniat untuk pamitan, karena harus berangkat sekolah dengan dijemput oleh kedua orang tuanya. Hanin tetap bergeming. Setelah Hena berbicara pada Syifa bahwa Hanin masih mengantuk, anak itu pun mau beranjak dari depan kamar Hena.

Mamanya sendiri ikutan pamit. Hampir terlambat, katanya. Pun berpesan bahwa pintu depan akan dikunci dari luar. Hanin masih tetap tak menyahut, karena ia sudah mempunyai kunci duplikatnya.

Kini Hanin sendirian di rumah. Kenangan masa kecilnya bermunculan terus menerus. Berdesakan seolah ingin memukul pertahanan Hanin.

Acara pemotongan kue ulang tahunnya bersama Mama dan Syifa berantakan. Semua hanya karena kedatangan Papa dan istri barunya.

Selama ini, Hanin bukannya tidak merindukan papanya. Bukan. Namun, Hanin sudah berada di tahap lelah. Lelah mengharapkan Papanya kembali. Lelah meminta perhatian papanya lagi. Lelah menjadi anak dari Papanya sendiri.

Terhitung sudah empat tahun lebih, Hanin tidak bertemu dengan Papanya. Dulu Hanin sempat diperebutkan oleh kedua orang tuanya, saat perceraian itu tiba. Hanin yang pada saat itu belum terlalu paham makna perceraian, dibuat bingung sekaligus hancur.

"Kamu pilih Papa atau Mama?"

Kalimat tersebut berulang-ulang dilontarkan pada saat itu. Membuat Hanin muak. Hanin inginnya konjungsi "atau" tersebut diubah menjadi "dan". Hanin inginnya mereka menemani Hanin tumbuh dewasa secara bersama-sama. Hanin benci disuruh memilih.

Hingga ketika ia mengetahui alasan Papanya meninggalkannya adalah demi setan sialan itu, Hanin memilih Mamanya. Sejak saat itu, Papanya tidak pernah menemuinya lagi.

Oh, Hanin ingat. Pernah. Satu atau dua kali. Namun, Mamanya segera mengusir Papa Hanin. Dan sejak itulah, sikap overprotektif Mama Hanin semakin mengetat. Membuat Hanin sulit bergerak bebas.

Sudah. Cukup mengulang masa lalunya yang pedih. Sekarang, ia hanya ingin hidup tenang. Cukup dengan Mamanya saja.

Ucapan Papanya tadi pagi yang mengatakan bahwa katanya rindu pada Hanin, pasti hanyalah omong kosong belaka. Kata orang-orang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Namun, ketika cinta pertama tersebut mengkhianatinya, maka kepercayaan sudah tidak ada lagi di dalamnya.

***

Mata Hanin benar-benar bengkak. Ia sukses meluapkan segala kemarahannya dengan menangis seharian. Bahkan ketika Mamanya pulang, gadis tersebut belum makan apapun. Masih bergelung dalam kasur Mamanya.

Mamanya membawakan Hanin makanan. Setelah dibujuk berkali-kali, barulah Hanin mau memakan sayur sop yang sudah dingin tersebut.

Di tengah acara makannya, Hanin menatap Mamanya yang juga sedang menatapnya.

"Kenapa Mama bolehin dia ke sini?" tanya Hanin dingin. Meletakkan kembali sendok di atas piring.

"Papa kangen sama kamu katanya, Nak ...."

"Hanin enggak," sahut Hanin cepat.

"Apa yang membuat Mama berubah?" tanya Hanin lagi. Masih penasaran ada apa dengan Mamanya.

"Dia Papa kamu, Nak. Dan dia sudah mengakui segala kesalahannya tadi pagi. Tante Lili juga meminta maaf karena kehadirannya sudah membuat kita hancur."

Hanin menggenggam sendok kuat-kuat ketika Mamanya menyebut nama nenek lampir sialan tersebut.

"Hanin tetep nggak mau ketemu sama mereka lagi!"

"Tante Lili nggak bisa punya anak. Rahimnya harus diangkat karena suatu hal. Sejak kejadian itu, Papamu baru menyadari semua kesalahannya. Menganggap bahwa ini adalah karma yang harus mereka tanggung," terang Hena perlahan-lahan. Terlihat sangat berusaha mendamaikan hubungan anak dan ayah tersebut.

"Oh .... Jadi gara-gara itu. Coba aja Nenek Lampir beneran dikasih anak. Mungkin selamanya Papa nggak akan mau nemuin Hanin lagi, Ma," ucap Hanin miris.

"Nak.... Jangan begitu...."

"Hanin kenyang, Ma. Mau balik ke kamar aja."

Hanin bangkit dari kasur Mamanya. Meletakkan piring yang nasinya hanya dimakan separuh di atas nakas. Lalu memasuki kamarnya dan tangis itu pecah lagi.

Kamis, 10 Maret 2022

❤️❤️❤️❤️

Ya ampun, Nin. Yang strong yaa🙃❤️

Mari peluk Hanin erat-erat!

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now