Bagian 11

362 51 2
                                    

Seusai Subuh, Hanin mempersiapkan diri untuk pulang ke Bekasi bersama Dafan. Ia sudah mengemasi seluruh barang bawaannya tadi malam. Sehingga, saat ini, ia tinggal menanti kehadiran Dafan yang katanya sedang dalam perjalanan menuju kosnya menggunakan taksi online.

Hanin sudah mengunci kamar kosnya. Ia berniat menyambangi rumah kontrakan Mami Kos yang ada di sebelah. Menyerahkan kunci kamar sekaligus berpamitan.

"Udah siap aja, Nduk? Keretanya jam berapa?"

"Jam tujuh, Mi. Ini kunci kamarnya. Makasih banyak ya, Mi." Hanin mengangsurkan sebuah kunci pada Mami Kos.

"Iya. Sama-sama, Nduk. Kalo nanti ke sini lagi, boleh lho nyewa kamar di sini lagi," kata Mami Kos mempromosikan indekosnya diselingi tawa di akhir kalimatnya.

Hanin hanya mengiyakan.

Tak lama, terlihat sebuah mobil berhenti di depan indekos Mami. Setelahnya, Dafan keluar dari sana.

Hanin langsung memanggil Dafan agar tahu keberadaan Hanin. Begitu Dafan menoleh, cowok itu segera menghampiri keduanya.

"Udah siap?"

Hanin mengangguk.

"Eh tunggu dulu. Total biaya kos Hanin selama empat hari ini berapa ya, Mi?"

"Sssttt. Tenang. Udah dibayar sama si Babang Tamvan," balas Mami Kos dengan mata melirik Dafan. Sikapnya berbeda dengan ketika kemarin Mami menagih uang kontrakan Dafan dan teman-temannya.

"Aman, Nin. Buruan yok. Ntar ketinggalan kereta."

Hanin hanya menurut. Lalu bersalaman dengan Mami Kos dan berpamitan sekali lagi.

***

Sebelum masuk ke stasiun, Dafan menyempatkan diri mampir ke warung pinggir jalan untuk membeli sebuah nasi bungkus. Iya, hanya satu. Karena Hanin, menolak tawarannya.

"Lo nggak biasa makan makanan warteg?" Dafan bertanya di sela makannya.

Mereka kini tengah menanti keberangkatan kereta mereka menuju Bekasi. Di kursi tunggu keberangkatan, Dafan menyantap nasi bungkusnya.

"Biasa. Tapi lagi nggak pengin aja. Gue makan sandwich ini aja udah kenyang banget," ujar Hanin seraya mengacungkan sandwichnya yang tinggal setengah.

"Emang dasar aneh!"

Hanin menanggapinya dengan mengangkat bahu.

"Luka lo masih sakit, Nin?" Dafan melirik perban yang membalut siku dan betis kiri Hanin.

"Ehm .... Dikit sih."

"Kalo lo bilang dikit, berarti artinya banyak."

"Ck! Beneran!"

Dafan menggeleng. "Lo nggak bisa bohongin gue lagi. Makin apal gua sama tabiat lo yang nggak bisa jujur tentang diri lo sendiri."

Hanin mengembuskan napas keras. Malas meladeni ucapan Dafan. Maka setelah sandwich di tangannya habis, ia menenggak air mineral cukup banyak. Lalu memilih untuk memainkan ponselnya saja.

"Azam siapa lo?" Dafan mengambil topik lain.

Hanin mengalihkan pandangan dari ponselnya. Memikirkan sejenak pertanyaan yang keluar dari bibir Dafan barusan.

"Menurut lo siapa?" tanya Hanin balik.

"Mantan?"

"Ck! Bukannnn!" geram Hanin karena tebakan Dafan salah.

"Ya terus?"

Hanin menekan tombol lock di HP-nya. Menyorot mata Dafan lekat-lekat.

"Kak Azam itu ... bukan siapa-siapa."

"Kali ini gue nggak bisa bedain. Ucapan lo ini beneran atau nggak."

Hanin menggeplak punggung tangan Dafan yang hendak menyuapkan nasi campurnya ke mulut. Beruntung sendok plastik yang ia pakai, jatuh di atas tumpukan nasi dan lauknya.

"Kali ini beneran! Gue sama dia nggak ada hubungan apa pun!" tegas Hanin.

"Ya biasa aja kali! Ga usah ngejatohin makanan gue juga!" sindir Dafan kesal.

"Ya habisnya lo ngeselin parah sih, Kak!"

Dafan mengunyah makanannya kencang-kencang. Menunjukkan kekesalannya pada Hanin secara terang-terangan.

"Lo suka sama Azam?" Dafan membidik langsung pertanyaan yang sedari kemarin mengganggu pikirannya.

Kedua mata Hanin sontak membola. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan to the point seperti ini.

"Nggak tahu," balas Hanin tak acuh.

"Makin paham gue sama kode-kode cewek. Enggak artinya iya."

"Intinya bukan urusan lo sih, Kak."

"Terus kenapa lo harus bohong ke Tante Hena segala?"

Hanin menegang di tempat. Ia lupa akan hal ini.

"Gini, ya, Kak. Gue mohon banget sama lo, jangan kasih tahu kejadian ini ke Mama. Karena ... itu bisa mengancam perizinan gue buat merantau," pinta Hanin sungguh-sungguh seraya memegang lengan Dafan.

"Kasih tahu dulu semua tentang lo dan Azam. Baru gue akan pertimbangin bakal tutup mulut atau enggak."

***

"Kak Azam itu anaknya temen Mama waktu SMA. Mama orang sini. Jadi ya dulu kami sering banget liburan ke Semarang." Hanin memulai ceritanya.

Kereta yang membawanya masih jauh dari kata sampai. Baru satu jam perjalanan. Hanin terpaksa untuk menceritakannya sekarang, setelah berdebat cukup lama dengan pikirannya sendiri.

"Tapi tiga tahun lalu, adalah kunjungan terakhir gue dan Mama ke kota ini. Dan lo tahu apa penyebabnya, Kak?"

Dafan menggeleng.

"Cuma karena arisan bodong! Gue sampe nggak habis pikir! Pertemanan yang mereka bina selama bertahun-tahun, rusak hanya karena katanya Mama Kak Azam menipu Mama dengan arisan bodongnya." Hanin bercerita dengan emosi yang tertahan. Gadis itu tak mau menyita perhatian penumpang lain, seperti saat keberangkatan mereka beberapa hari yang lalu.

"Gue kesel banget sama Mama. Tapi gue nggak bisa berbuat apa-apa. Akses gue buat ngehubungin Kak Azam diputus semua sama Mama. Jadi, mau nggak mau, gue harus berusaha keras ngelanjutin kuliah di Semarang." Hanin memberi jeda pada dirinya.

"Itu artinya lo suka sama dia?"

"Lo adalah orang pertama yang gue ceritain tentang hal ini. Dan gue juga baru pertama kali dapet pertanyaan kek gitu. Jujur, gue bingung. Terlalu susah untuk mengakui secara lantang kalau gue suka sama Kak Azam. Soalnya, keadaannya rumit banget, Kak," keluh Hanin sendu.

Dafan tersenyum getir. Secara tidak langsung, Hanin sudah menjawab pertanyaannya.

"Gue janji nggak akan bilang hal ini ke Tante Hena," ucap Dafan tulus.

Sorot sendu Hanin tergantikan raut tak percaya. "Serius lo, Kak?" tanya Hanin memastikan sekali lagi.

Anggukan Dafan disambut senyum lebar yang membius kesadaran Dafan.

Apapun asal lo bahagia, Nin.

Sabtu, 12 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Ajwuwiwkqmwmwjkw!

Dafan bisa swit juga ternyata🙃

Mana tim Hanin-Dafan?

Atau justru pada memihak Hanin-Azam?

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now