Bagian 19

227 35 8
                                    

Tak perlu khawatir 'ku hanya terluka
Terbiasa tuk pura-pura tertawa
Namun, bolehkah sekali saja 'ku menangis?
Sebelum kembali membohongi diri.

Lagu milik Feby Putri dan Fiersa Besari tersebut mengalun lembut di telinga Hanin. Dengan headset menyumpal kedua telinga dan volume sangat kencang, Hanin meresapi tiap lirik dari lagu "Runtuh" tersebut.

Gadis itu memejamkan mata. Berbaring menghadap tembok. Namun, sebetulnya, ia tak benar-benar tertidur. Ia hanya tengah berusaha menahan air mata yang sejak tadi sudah meleleh melalui sudut matanya.

Usapan pelan di kepalanya, sedikit menyentak Hanin. Memaksanya membuka salah satu penyumpal telinga tersebut. Hanin mengusap kedua matanya kasar. Bangkit dari baringnya.

"Nggak baik tidur sambil pasang headset kenceng-kenceng. Dari sini aja Mama denger lagu yang lagi kamu dengerin, lho," ucap Mama Hanin lembut.

"Ada apa, Ma?" Hanin bertanya dengan suara parau.

"Ada Dafan di depan."

"Ngapain?"

"Kamu lupa, tadi Dafan ngajakin kamu jalan-jalan 'kan?"

Hanin memberengut. "Mama usir aja. Kayak biasa Mama usir temen-temen Hanin yang lain," kata Hanin setengah menyindir kebiasaan Mamanya.

"Pergilah. Mama percaya sama Dafan." Mama Hanin masih berusaha membujuknya.

"Enggak, Ma. Hanin ngantuk. Mau lanjut tidur."

"Masih jam tujuh. Biasa juga kamu bergadang kan?"

"Ma ...," rengek Hanin dengan muka memelas.

"Kamu tahu menolak perintah orang tua itu dosa, 'kan?"

Skak mat! Hanin tak dapat mencari alasan lain.

***

Hanin mencuci muka sembabnya. Ketika menghadap kaca, Hanin kembali diserang keraguan untuk menemui Dafan. Wajahnya sangat terlihat mengerikan. Kedua matanya bengkak. Hidungnya masih berwarna kemerahan, meski sudah dipoles bedak tipis-tipis. Bibir pucatnya sudah dilapisi lip cream berwarna nude. Lalu ia hanya memakai kaos lengan pendek abu-abu. Dipadukan celana jeans panjang.

"Jaket, Nin, jangan lupa," ucap Dafan teringat kejadian di Semarang beberapa waktu lalu. Dimana akhirnya cowok itu memberikan jaketnya pada Hanin, yang hingga sekarang masih berada dalam lemari Hanin. Saking lupanya gadis itu, hingga masih menyimpan jaket cowok.

Hanin terdiam duduk di boncengan. Mukanya datar. Terlihat tidak antusias seperti ketika diajak mencari makan di Semarang kala itu. Dafan tahu bahwa Hanin melamun di sepanjang perjalanan. Bahkan gadis tersebut tidak sadar motor Dafan sudah berhenti di sebuah tempat.

Taman kota yang cukup lengang di malam Kamis. Berharap dapat mengembalikan suasana hati Hanin menjadi baik kembali.

"Ngapain ngajak ke sini sih, Kak?"

"Kalau kata orang sih, 'Beberapa kegagalan harus dirayakan', Nin."

Hanin membuang napas keras. Berjalan menuju salah satu bangku panjang di sebelah rerumputan setinggi setengah meter. Mengempaskan tubuhnya kasar bersandar bangku taman tersebut. Matanya menatap tiang lampu hias di depan sana. 

Dafan mengikutinya. Membiarkan Hanin kembali asik dengan segala riuh di kepalanya.

"Sekarang, gue harus ngapain?" tanya Hanin Datar. Kini tatapan matanya kosong.

"Move on!"

"Gampang diucapin, sulit dijalanin," cibir Hanin.

"Nggak lolos SBM bukan akhir dari segalanya, Nin. Masih ada jalur lain. Mandiri. Atau swasta. Lo bisa pikirin hal ini mateng-mateng lagi."

Hanin terdiam. Mencerna ucapan Dafan. Iya, dirinya tidak lolos SBMPTN tadi sore. Dafan terlanjur mengucap "selamat", hanya karena melihat tulisan berwarna hijau saja. Namun, ketika dibaca dengan saksama, Hanin dinyatakan tidak diterima. Bahkan tertera juga quote "Jangan putus asa dan tetap semangat!" di bawahnya.

Lintasan kegagalan yang dialami tadi sore kembali mengguncang dirinya. Hanin mulai terisak. Air matanya deras meluncur tanpa aba-aba.

"Gue malu, Kak! SNM nggak lolos! SBM juga sama! Gue tahu Mama kecewa, meski nggak bilang itu ke gue. Untuk ke dua kalinya, gue gagal! GAGAL!!! Dan rasanya sakit banget, Kak!" Emosi Hanin meluap. Ia tak dapat menahannya lebih lama lagi.

Dafan melihat luka yang amat lebar di diri Hanin. Kesedihan yang dialami oleh gadis itu seolah tertransfer kepadanya. Tak sanggup melihat Hanin yang makin terisak, Dafan meraihnya dalam dekapan.

Membiarkan kaus hitam yang ia pakai basah oleh air mata Hanin. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibir keduanya selama beberapa saat. Yang ada hanya suara isakan Hanin yang seiring waktu mereda. Tak peduli oleh pasang mata lain yang dapat melihat mereka. Yang terpenting, Hanin tidak merasa sendirian lagi.

"Gue harus gimana, Kak? Please, tell me!" Hanin mengulang pertanyaannya. Lirih. Masih dalam dekapan hangat Dafan.

"Masih banyak kesempatan. Ujian mandiri atau kampus swasta, it's okay." Dafan mengulang ucapannya tadi.

Hanin tergugu lagi. Dafan mengusap rambut lembut yang diikat menjadi satu tersebut.

"Gue nggak mau memberatkan Mama lebih banyak lagi. Ikut ujian mandiri atau masuk kampus swasta butuh biaya yang nggak sedikit."

Dafan tak tahu harus menanggapi bagaimana lagi. Karena membicarakan finansial itu sangatlah sensitif. Ia tak mau salah berbicara.

"Diskusiin sama Tante Hena lagi ya? Gue yakin Tante Hena bisa memberikan solusi terbaik."

Hanin menarik diri dari dekapan Dafan. Membenarkan ikatan rambutnya yang mengendur. Mengusap air mata yang tersisa di sudut mata dan pipinya.

"Thanks!"

Hati Dafan makin tercabik-cabik dengan kondisi Hanin sekarang. Jika diingat lagi, dirinya juga turut menjadi penyebab kegagalan Hanin. Karena di saat Hanin harusnya berdiam diri dalam kos untuk beristirahat atau belajar, dirinya justru membawa anak itu keluar hingga hampir larut malam, kala itu.

"Tumpahin semuanya ke gue, Nin. Karena secara nggak langsung, gue juga yang bikin lo gagal SBM."

Hanin menatap mata Dafan yang penuh akan rasa bersalah.

"Coba aja gue nggak ajak lo keluar waktu itu. Pasti—"

"Ini bukan salah lo. Plis jangan bikin tambah rumit dengan lo bersikap gini," sangkal Hanin.

Dafan mengangguk paham. Kembali memeluk Hanin yang belum bisa menghentikan tangisnya.

Gimana cara agar gadis cantik ini tersenyum kembali, Tuhan?

Minggu, 20 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Bagian ini cukup emosional. Aku beneran nangis waktu nulis ini.

Karena "hijau", bukan berarti diterima.

Tetap semangat buat Teman-teman yang pernah mengalami nasib yang sama seperti Hanin.

Kira-kira, Hanin bakal menentukan langkah yang mana untuk ke depannya?

Sampai jumpa di bab berikutnya.

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now