Bab 11 - Moment

2.8K 358 20
                                    

"Semalem Elvano mutusin gue, Lun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Semalem Elvano mutusin gue, Lun. Sakit banget rasanya."

Aku tidak percaya kalau hubungan antara Elvano, dan Safira akan berlangsung sangat singkat. Hanya bertahan selama dua minggu saja. Sejujurnya aku bisa memahami mengapa mereka bisa berpisah begitu cepat. Safira memang terbilang tipikal perempuan yang merepotkan, sedangkan Elvano merupakan tipikal laki-laki yang santai.

Safira mengatakan kalau dia jatuh cinta pada laki-laki itu, tapi tidak bisa menerima Elvano apa adanya. Rasanya seperti gadis itu membenci apa pun yang Elvano lakukan. Aku yang mengamati bagaimana mereka berpacaran sampai tak habis pikir. Tidak ada satu hari pun Safira tidak membuat masalah, kupikir itu caranya dia untuk mendapat perhatian dari Elvano.

"Gue tuh peduli sama dia, Lun. Makanya gue larang dia maen bola," katanya sambil menangis di bahuku. Meskipun dia kadang menyebalkan, melihatnya menangis seperti ini, hatiku juga merasa sakit.

"Lagian Vano itu aneh banget deh, masa mutusin lu gegara ngelarang maen bola doang," cetus Nuraini tidak habis pikir.

Satu-satunya orang yang paling tenang di antara kami hanya Aileen. Sepertinya dia sudah menduga kalau perpisahan itu akan terjadi.

"Terus mau gimana lagi? Yaudahlah, move on aja," kata Aileen santai tanpa beban. Aku menatapnya dengan kesal. Aileen ini tidak tahu situasi atau bagaimana sih?

"Move on? Gue baru putus kemaren, dan lu suruh gue move on? Yang bener aja, Leen. Gue masih sayang dia. Gue gak mau putus!" tandas Safira makin tak terkontrol. Kontan aku menyentuh lengannya untuk bersikap tenang.

"Tenang, Fir. Kita pikirin ini dengan baik-baik ya," ucapku mencoba menenangkannya.

Safira menatapku dengan tatapan nanarnya. "Lun, tolongin gue ya? Tolong lu ngomong sama Vano. Gue gak mau putus, Lun. Gue gak mau putus..." ujarnya memohon. Sungguh melihatnya seperti ini, aku merasa tak tega.

"Tuh anaknya baru datang," gumam Aileen menunjuk Elvano yang memasuki kelas dengan langkah santai, wajahnya tak menunjukkan kesan kalau dia baru saja putus dengan kekasihnya.

Safira menyembunyikan wajahnya di atas meja, ia menangis tanpa suara. Elvano melihat itu, tapi tidak ada satu pun reaksi yang dapat membuatku berdecak kagum. Wajahnya datar sekali, tidak menampakkan raut wajah penyesalan yang membuatku kesal setengah mati. Dasar playboy!

Acara drama-patah-hati-nasional itu berlangsung seharian. Semua teman-teman Safira saling bergantian menemani gadis itu yang tak ada bosannya menceritakan kisah pahitnya berulang kali. Bahkan aku juga sudah mendengar kalau Abbey sudah berusaha bicara dengan Elvano, namun laki-laki itu enggan berkomentar satu patah kata pun. Hebat sekali! Apakah itu hobinya? Menyakiti hati perempuan.

Akhirnya aku memutuskan untuk berbicara langsung dengan Elvano seusai pulang sekolah, karena selama di sekolah, sulit sekali bertemu muka dengannya. Dia berusaha menghindar dari siapa pun yang ingin membahas persoalan yang sama.

One Last Chance (END)Where stories live. Discover now