Kenapa ya semua orang menutupi kesedihannya dengan berbohong? Aku juga begitu. Aku membohongi diri sendiri setiap hari tanpa kenal lelah. Berbohong ke sana-kemari seolah aku baik-baik saja, nyatanya aku bahkan tidak berani menghadapi hari esok yang mungkin tidak sesuai yang kuharapkan.
Semenjak malam yang mengerikan itu, aku tidak berani bahkan untuk sekadar menatap wajahnya. Hubungan kami pun berubah canggung dan dingin. Sepertinya Elvano menganggapku benar-benar membencinya, karena dia berusaha menjaga jarak dariku.
"Elvano, Hilman, Kohar, Tyson, kalian berempat disuruh ke ruang BK sama Bu Halimah." Teguran yang berasal dari arah depan kelas itu mampu membuat semua pandangan mata teralih.
Aku melihat Elvano bangkit dari tempat duduknya, tak lama hal itu pun disusul Hilman, Kohar, dan Tyson. Mereka berempat berjalan keluar kelas dengan ekspresi tegang dicampur ketakutan. Sepertinya kabar bahwa mereka ikut tawuran dua malam yang lalu sudah sampai terdengar di telinga pihak sekolah.
"Gue denger kalau mereka beneran ketahuan ikut tawuran, bakal dikeluarin dari sekolah," gumam Aileen yang duduk di sebelahku. Aku membasahi bibirku yang kering, bingung harus merespon bagaimana.
"Abey juga dipanggil ya, Fir? Menurut lu itu gimana nasib mereka?" tanya Nuraini kepada Safira.
Safira menghela napas berat. "Gak tau. Semoga sekolah masih mau kasih kesempatan sama mereka, soalnya gimana pun kan mereka udah kelas tiga. Gue yakin sih kalau sekolah gak bakal setega itu," ujar Safira yang entah mengapa membuatku sedikit merasa lega.
Aku menganggukan kepala. "Sekolah gak bakal setega itu," gumamku mengucapkannya layaknya doa yang berharap menjadi kenyataan.
***
Acara saling menyahut lirik lagu populer telah membuat anak-anak enggan melepaskan momen menyenangkan itu. Abey selaku ketua tawuran SMA Bina Sejahtera Bangsa berinisiatif mengajak anak-anak kelasan kami untuk ikut main ke rumah Sugiarto—anak 9-1—pada hari sabtu nanti sepulang sekolah.
"Rumah si Sugi itu luas banget, di belakang rumahnya ada danau kecil itu, terus ada sawah juga. Cocok deh buat kumpul-kumpul banyakan. Kira-kira siapa aja nih yang mau ikut?"
Tak kenal maka tak sayang mungkin menjadi peribahasa yang tepat dikatakan untuk saat ini. Berawal dari menyahut nyanyian, membuat lingkaran, mereka semua malah berkumpul di depan kelas untuk mendiskusikan ajakan Abey untuk bermain di rumah Sugiarto. Sungguh tidak terduga.
"Lu mau ikut gak, Lun?" tanya Safira pada Kaluna yang daritadi hanya berdiam diri.
"Ooh gue..." Kaluna membasahi bibirnya bingung harus menjawab apa.
"Kaluna sama gue ikut," sahut Aileen langsung tanpa persetujuan Kaluna. Sontak Kaluna menoleh ke arah Aileen, memandangnya dengan mengerutkan dahi.
"Gue ikut," kata Elvano menyahut dengan semangat. Pokoknya apa pun yang berkaitan dengan gebetan, Elvano tidak boleh sampai ketinggalan.
YOU ARE READING
One Last Chance (END)
General FictionKaluna Utari merasa hidupnya berjalan dengan baik hingga berumur dua puluh lima tahun. Ia memiliki semua yang tak banyak orang bisa dapatkan. Tapi dengan semua keberkahan itu, kenapa ia masih tetap merasa kesepian? Sebenarnya apa yang sudah tertingg...