Bab 12 - Secret

2.5K 297 4
                                    

Sejak pernyataan cinta yang tidak terduga di lorong waktu itu, hubunganku dengan Elvano tidak sama seperti sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sejak pernyataan cinta yang tidak terduga di lorong waktu itu, hubunganku dengan Elvano tidak sama seperti sebelumnya. Aku selalu mencoba menghindar, dan dia tampaknya memahami itu, karena dia juga melakukan tindakan yang sama.

Terlebih lagi drama perpisahan antara dirinya dengan Safira juga belum usai, gadis itu telah membuat suasana kelas menjadi tidak nyaman. Elvano pun sering kali memilih keluar dari kelas kalau tidak ada jam mata pelajaran, maupun saat istirahat. Satu-satunya cara agar bisa menatapnya adalah ketika kami sedang belajar.

Suasana kelas otomatis berubah, tidak secerah dulu, tidak semenyenangkan dulu. Kami melalui masa kelas tiga dengan kesemuan.

"Vano deket sama cewek lain, Lon? Ih siapa ceweknya, bilang sama gue! Gue bakal buat mereka pisah!" gerutuan-gerutuan Safira yang sama setiap hari juga lama-lama membuatku muak. Dia selalu menjadi alasan mengapa aku enggan melangkah meskipun tahu kalau Elvano memiliki perasaan yang sama sepertiku. Maka dari itu, aku berpikir bahwa sudah tidak ada lagi pilihan yang bisa kupilih selain mencoba melepas Elvano, sekali lagi.

Tetapi aku tersiksa... amat sangat.

Pernahkah kau menangis karena saking tak kuasa menahan perasaanmu sendiri? Aku merasakan itu. Aku menangis karena aku sangat mencintainya. Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku mencintainya, dan itu menyiksaku setiap hari.

"Aku hanya ingin mendekat karena melihatmu setiap hari di tempat yang sama. Namun ternyata tidak semudah itu. Lalu kau pun terlihat semakin jauh."

Elvano menggunakan media sosial Facebook sebagai tempat keluh kesahnya. Dan anehnya, aku kadang merasa dia sedang membicarakanku. Sejujurnya aku tidak bisa sepercaya diri itu, karena dia pasti didekati banyak perempun di luar sana.

Aku selalu berpikir bahwa rasa sukanya tidak akan pernah sebesar rasa sukaku. Aku selalu berpikir bahwa dia dapat begitu mudah melupakanku, dan tidak akan pernah sesulit diriku. Dengan pikiran tersebut, aku tidak pernah menganggap kalau perasaan yang dia utarakan itu benar-benar tulus. Ya, aku memang sejahat itu.

***

Kaluna Utari menutup pintu kamarnya dengan kekuatan ekstra. Ia menyandar pada pintu kamarnya, dan memegang kedua pipinya yang memanas.

Astaga! Ia ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya. Jantungnya berdebar keras sekali sampai ia merasa bahwa sang jantung akan mencuat keluar kalau tidak ia pegang. Tuhan, ia bahagia sekali. Sangat amat!

Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur, memeluk guling dan menciumnya berulang kali. Ternyata begini rasanya bahagia. Alam semesta seperti sedang memberikan seratus persen dukungan kepada hidupnya.

Tak lama ia bangkit berdiri kemudian memutar kepalanya berulang kali untuk melampiaskan kebahagiannya. Tubuhnya juga tidak bisa diam. Duduk sebentar, ia langsung bangkit berdiri dan berjalan memutari kamarnya tidak jelas. Beberapa kali juga ia menatap pantulan wajahnya di depan kaca, untuk memuji diri sendiri.

One Last Chance (END)Where stories live. Discover now