Epilog

5.3K 416 33
                                    

DI ANTARA banyak tempat yang tidak Elvano Varren sukai, rumah sakit adalah yang paling terburuk. Makanan tidak enak, ruangan dingin, dan obat-obatan pahit. Setelah keluar dari rumah sakit Elvano janji, bahwa ia tidak akan melakukan percobaan bunuh diri lagi. Masalahnya tidak ada jaminan dirinya bisa langsung 'the end' seperti yang diharapkan.

Selain suasananya yang tidak menyenangkan, Elvano juga bosan setengah mati. Apalagi kalau ibunya pergi berangkat kerja, kerjaan Elvano seharian hanya berbaring di ranjang sambil menonton televisi. Tidak ada satu pun teman-temannya yang tahu mengenai dirinya yang masuk rumah sakit, karena penyebab masuknya ia ke rumah sakit bukan hal yang pantas untuk diceritakan. Maka tragedi tersebut akan ditutup rapat-rapat dari publik.

Sepertinya ia membutuhkan udara segar, berjalan-jalan santai di taman rumah sakit pasti bisa membuat perasaannya jauh lebih baik.

Elvano menelengkan kepalanya ke samping ketika matanya menangkap seorang anak perempuan tengah duduk sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong. Ia berjalan menghampiri anak itu kemudian duduk di sampingnya.

"Mikirin apaan, Cil? Beras di rumah abis?" tanya Elvano yang memang sudah ada niatan iseng sejak awal. Anak perempuan itu melirik Elvano dengan sinis tapi tidak berkomentar. Ia tetap melihat ke depan mengabaikan keberadaan laki-laki itu di sampingnya. Dasar orang tidak jelas.

"Heh! Kalau orang dewasa nanya tuh jawab, jangan diem aja. Gak bisa ngomong ya?" kata Elvano yang malah makin tertarik menggoda anak perempuan itu.

Perempuan itu memejamkan matanya lalu menoleh ke arah Elvano dengan tatapan kesal. "Bisa gak sih gak gangguin orang? Sesama bocil jangan belaga udah dewasa!" celetuk anak perempuan itu dengan nada cempreng.

"Sesama bocil? Umur gue lima belas tahun, tau!" seru Elvano tidak ikhlas dibilang sesame bocil.

"Lima belas taun itu masih bocil, tau! Hidup masih panjang tapi belaga gak ada harapan hidup, cemen banget," ujar anak perempuan itu yang berhasil membuat Elvano terhenyak.

"Apa?"

"Cemen!" balas anak perempuan itu sengit.

Elvano terbahak tidak percaya. "Wah, bocil zaman sekarang banyak yang songong ya? Gak sekolah lo ya?"

"Kakak juga songong banget, gak kenal tapi malah sok kenal," sahut anak perempuan itu yang membuat Elvano kehilangan kata-kata. Apa yang dikatakan anak kecil ini ada benarnya juga.

Laki-laki itu berdeham sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Lo ngapain di sini, Cil? Anak kecil kan gak boleh di rumah sakit," "kata Elvano mengalihkan pembicaraan ke arah lain.

"Kakak gak liat pakaian kita sama?" tanya anak itu dengan nada kesal. Sejenak Elvano baru menyadari bahwa mereka berdua mengenakan pakaian pasien dari rumah sakit ini.

"Lo sakit?"

"Iya."

Elvano mengangguk-ngangguk. "Zaman sekarang emang umur-umur muda kayak kita lebih sering sakit dari orang lebih tua. Gak apa-apa, nanti juga sembuh," ucapnya dalam tarikan napas.

"Kata 'gak apa-apa' cuma berlaku buat orang-orang yang punya uang. Buat orang yang sakit tapi gak punya cukup uang, sehat itu mahal. Aku juga udah gak mau nyusahin orang tua. Mereka berhak bahagia daripada menderita seumur hidupnya supaya aku bisa hidup normal kayak anak lainnya."

Ini pertama kalinya ia mendengar sesuatu yang berbeda dari seorang anak kecil.

"Kenapa lo ngomong seolah-olah udah tau apa yang dirasain orangtua lo?" tanya Elvano penasaran.

"Karena itu faktanya. Sampai kapan pun, aku bakal jadi beban orangtua aku. Aku bisa lihat itu semuanya. Dengan jelas juga," kata anak perempuan itu yakin. Ia menatap Elvano lalu tersenyum tipis. "Aku bisa ngeliat masa depan seseorang dari tatapan matanya," lanjutnya.

One Last Chance (END)Where stories live. Discover now