1. Kaira

173 21 2
                                    

Kaira tidak tahu, apakah keputusannya ini akan berujung baik atau tidak, untuk dirinya maupun Zira. Air matanya luruh kembali, ia terisak melihat bayang-bayang Angga di rumah besar ini. Meski ada Zira, tidak lantas mengobati rindu yang begitu besar kepada Angga.

Jika saja malam itu Angga tidak kebut-kebutan setelah mendengar ia akan melahirkan. Mungkin Angga tidak akan kecelakaan. Dan pria itu masih berdiri di sampingnya, tersenyum mengelus pipi tembam Zira. Mengusap kepalanya dengan sayang, memberikan ungkapan cinta yang begitu menggugah hati.

Entah mungkin Kaira memang terlalu besar menaruh cinta di dalam hatinya untuk Angga. Sampai baru saja berjalan satu tahun pernikahan, kematian sudah memisahkan mereka. Tuhan mungkin saja cemburu, karena cintanya terhadap Angga lebih dari kepada-Nya. Itu adalah bukti dari cinta sang pencipta, Kaira tahu itu. Makanya ia tidak mau takabur, Kaira ingin berusaha berlapang dada seluas-luasnya melepas Angga.

Napas Kaira memendek, seolah-olah ada cairan memenuhi paru-parunya. Tangannya tidak berhenti menggoyangkan ayunan tidur putrinya yang baru saja menginjak usia lima bulan. Matanya kosong, hatinya hancur berkeping-keping. Kaira menangis lagi, ia merasa sendiri di antara orang-orang terpandang yang sesungguhnya asing untuk Kaira. Kaira belum terlalu mengenal mereka, hanya Angga saja satu-satunya keluarga Kaira.

***

"Beneran kamu mau pergi sebentar, Kai?" Wanita anggun dengan balutan gamis berwarna ungu itu berujar, beliau sangat cantik. Dan merupakan kakak ipar pertama Kaira. Bernama Salsabilla. "Kenapa mendadak banget, Mbak kaget rasanya waktu kamu bilang mau pulang kampung."

"Iya, Mbak. Aku sudah lama gak mengunjungi panti tempat aku dibesarkan. Aku rindu Bu Ratna, ingin bertemu beliau," jawab Kaira berusaha tersenyum.

"Oh, bagaimana kalau kita juga ikut? Sekalian liburan sebelum ramadhan. Kita juga belum pernah ke kampung kamu, Kai. Waktu ini saja aku ke Yogyakarta tapi gak tahu daerah tempat kamu tinggal di mana," usul kakak ipar keduanya bernama Raisa. Begitu semangat saat mengusulkannya.

"Boleh, tuh, papajar sebelum ramadhan memang recommended banget. Tradisi yang gak boleh ketinggalan. Para paksum pasti bakal setuju, tuh, biar gak kerja terus," sambung kakak ipar ketiganya bernama Ayana. Menyetujui.

Kontan saja hal itu membuat wajah Kaira pucat pasi, bisa hancur rencananya kalau mereka ikut. "Jangan, Mbak!"

Ketiga kakak iparnya langsung menoleh, matanya menyipit sanksi. Mencari sesuatu di mata Kaira.

"Kenapa, Kai? Memangnya kamu berencana berangkat sendiri?" Salsabilla menautkan kedua alisnya. Ia agak terkejut dengan reaksi Kaira.

"Bukan, Mbak." Kaira menunduk, malu menjadi pusat perhatian para wanita sosialita, tetapi begitu taat pada agama. Kaira merasa malu, ia kecil di antara mereka. Karena Kaira begitu jauh dibandingkan dengan mereka. Ibaratnya Kaira hanya sebutir pasir di antara hamparan mutiara. Tidak terlihat.

Begitulah, Kaira dengan ketidak percayaandirinya.

"Kalau begitu kenapa?" tuntut Salsabilla.

"Maaf, Mbak. Kai ingin menghabisakan waktu sendiri setelah kepergian Mas Angga. Kaira mau cari tenang, biar nanti lebih ikhlas lagi."

Dari sana baru ketiga kakak iparnya menatap sedih, kasihan, iba. Bagaimana wanita muda ini sudah ditinggal suami di malam setelah ia melahirkan. Bagi mereka mungkin Kaira begitu kuat, tetapi tidak ada dari mereka yang tahu betapa hancurnya Kaira sampai ke dasar. Sampai ia tidak tahu lagi bagaimana caranya kembali naik ke permukaan.

Salsabilla memeluk Kaira. Mengusap punggung wanita itu memberi kekuatan. Ia tahu betapa terpukulnya Kaira, malam yang hitam telah mengambil satu-satunya sandaran Kaira.

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang