11. SMA Mangata

110 19 9
                                    

Assalamualaikum, aku datang lagi. Maaf karena terlambat lagi updatenya. Itu karena beberapa hari kemarin lagi banyak kesibukan. Cieulah sok sibuk wkwk. 😆

Oke, deh.

Selamat membaca dan semoga suka. 💘

.

Seusai mendaftarkan diri ke salah satu sekolah di Jakarta. Safrina dan Zira kembali ke rumah. Gadis berkerudung hitam itu melebarkan senyum. Saat melihat Ares--Putra bungsu Safrina--di gendongan Bi Mai.

"Ares."

Zira langsung berlari masuk ke rumah. Mengambil Ares dari pangkuan Bi Mai. Anak kecil yang baru berusia satu tahun itu tertawa renyah. Gusinya yang belum tumbuh gigi semakin membuat Ares tampak menggemaskan. Zira lantas mengelus-elus hidungnya di hidung mungil Ares.

"Ares udah makan belum?"

"Nak Ares baru bangun tidur, belum sempat Bibi buatin susu, Nak," kata Bi Mai tidak enak hati. Pasalnya ia baru saja selesai membereskan rumah besar tersebut. Dan langsung beranjak ke kamar saat mendengar tangisan Ares. Berpapasan dengan itu majikannya sudah pulang.

Maklum, di rumah ini hanya Bi Mai yang bekerja dari pagi buta. Belum lagi menyiapkan makan siang nanti untuk keluarga ini. Namun, semenjak tiga hari lalu kedatangan gadis manis yang merupakan keponakan majikannya itu. Pekerjaan Bi Mai mengurus Ares sedikit terbantu.

Seperti Ibu kepada anaknya, Zira menggedong Ares ke mana-mana sambil menyiapkan air susu di botol. "Kakak siapin susu, ya. Pasti Ares laper banget. Maaf, ya, tadi Bunda Ares diculik dulu sama Kakak sebentar. Ares jangan marah, nggih?"  Zira tertawa sendiri. Merespons suara Ares yang entah menggumamkan apa. Tangan mungilnya menarik-narik ujung hijab Zira.

Lalu saat kain itu hendak dimasukkan ke mulut. Zira langsung menariknya perlahan. "Gak boleh dimakan, Sayang. Kotor hehe."

Zira memang sangat menyukai anak kecil. Mereka itu seperti permata di dalam kerang. Sari di dalam bunga yang belum diminun habis oleh lebah. Polos dan lugu, menggemaskan seperti squishy milik temannya di desa, yang seringkali ia pinjam untuk sekedar diuyel-uyel.

"Zira." Safrina masuk ke dapur. Ia mengambil air lalu meminumnya.

"Iya, Tante?"

Sebenarnya Zira juga sedang berusaha membantu beban Tante Safrina selagi ia tinggal di sini. Wanita karir itu cukup sibuk. Selain mengurus anaknya dan suami, ia juga harus bekerja di salah satu usaha travel miliknya.

"Sudah tiga hari, mereka menunggu kabar kamu, lho." Safrina menatap Zira, tangannya mengelus pucuk kepala gadis itu.

Sedang Zira menimbang-nimbang Ares sembari memberinya botol susu. Dan bagaimana Ares tampak tenang dan nyaman.

"Mereka siapa?" Padahal Zira tahu siapa yang dimaksud oleh tantenya itu.

Namun, untuk saat ini Zira belum ingin membahasnya. Jadi ia memilih pura-pura lupa. Meski Zira yakin, pasti Safrina memang ingin kembali mengangkat topik ini.

Safrina tersenyum, ia mencubit pangkal hidung Zira. "Kamu itu memang beda, persis seperti ibu kamu."

"Maksud Tante?"

"Iya, padahal seharusnya kamu senang banget punya keluarga besar yang sayang sekali sama kamu. Mereka juga dari keluarga yang berada. Dan kalau kamu mau apa-apa, pasti kamu langsung dibeliin tanpa perlu nunggu lama. Belum lagi saudara-saudara kamu yang pada ganteng. Beuh, setiap hari mata kamu dimanjain," ujar Safrina menggebu-gebu. Untuk urusan kebanyakan orang, pasti memimpikan kehidupan seperti itu. Makanya agak aneh, saat Zira memilih menjauh dari keluarga tersebut.

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now