6. Ini Zira

105 20 5
                                    

Selamat membaca, dan semoga suka. Maaf banget telat update, guys. Harusnya hari kamis kemarin, tapi aku lupa. Hwhw.

🦋

Angin malam berdesir kuat, hijab putih Zira berkibar seiring langkahnya mengikuti seseorang yang belum ia kenal di parkiran rumah sakit. Hanya sepintas ketika Zira menolongnya saja. Lalu tiba-tiba Zira harus ikut dengannya karena tidak tahu harus pergi kemana. Meski hatinya menolak untuk percaya, tetapi Zira yakin bahwa pria ini adalah orang baik.

"Sebentar, sepertinya saya harus beli dulu makanan. Kamu tunggu di sini," titah pria itu. Entah makanan untuk siapa Zira tidak tahu. Namun, apakah perut orang itu sangat kelaparan sehingga makanan lebih utama ketimbang segera menyelesaikan urusannya? Lalu bantu Zira untuk bertemu dengan Tante Safrina. Pasti, wanita itu sangat khawatir padanya.

Zira mengangguk pasrah. "I-iya."

Namun, orang itu tidak beranjak. Ada kasihan di mata tajamnya dan Zira mengetahui itu.

"Saya gak bisa tinggalin kamu, ayo ikut." Ia berbalik lalu berdiri di samping Zira. Senyumnya kembali muncul ketika Zira mengangkat kepala dengan harap-harap cemas melihatnya.

Keduanya lantas pergi. Tubuh kecil Zira meringkuk, ada sakit di bagian punggung karena mungkin belum meminum obat dan perutnya pun kosong, Zira perlu sedikit asupan karena tubuhnya lemas.

Akhirnya mereka sampai di kantin rumah sakit. Pria berstelan hoodie itu membeli satu cup bubur, serta air mineral. Seusai membayar dengan uang cash yang tersisa, Hazza kembali menggiring gadis itu untuk berjalan di sampingnya menuju mobil. Entah kenapa Hazza senang melihatnya. Teringat jika saja Zira ada, pasti Zira seumuran dengan gadis ini.

Hazza menekan tombol kunci mobil. Setelah bunyi 'flip' terdengar, Hazza membuka pintu. "Masuklah, jangan takut. Saya janji akan bantu kamu cari Tante kamu. Saya akan bertanggung jawab," yakinnya. Ketika Hazza menangkap keraguan di netra jernih itu.

"Iya, Om." Zira masuk di kursi penumpang depan. Mobil sedikit bergerak ketika pria itu juga masuk lalu menutup pintu. Sebenarnya Zira sangat-sangat khawatir. Ia takut dosa, karena berduaan di tempat tertutup dengan lelaki ajnabi.

Ya Allah, Zira tidak sengaja. Ia bertekad melakukan salat taubat setelah menemukan tantenya lalu pulang.

"Ini makan, saya beli itu untuk kamu. Biar kamu segera minum obat, dan sakit kamu mulai reda." Hazza menyodorkan cup bubur yang ia beli tadi. Tentu Hazza tidak akan membuat gadis lugu itu kelaparan, setelah mengorbankan nyawanya untuk menolong.

Zira tertegun. Dalam hati merutuki dirinya sendiri karena bersuudzon pada pria ini yang ternyata berniat baik padanya.  "Um, terima kasih, Om. Maaf sudah merepotkan."

Suara berat lelaki itu terkekeh seiring tangannya menarik tuas gigi menjalankan mobil. Sebenarnya Hazza sedikit tidak nyaman dengan panggilan gadis ini terhadapnya. Om, Hazza jadi merasa sudah tua sekali.

"Omong-omong kamu jangan panggil saya, 'om.' Apa menurut kamu saya sudah kelihatan tua?" tanya Hazza menoleh ke samping dengan satu alis terangkat.

Zira menelan satu sendok buburnya susah payah. Ia merasa sedikit canggung. "Nggak, hanya saja saya bingung harus memanggil Anda bagaimana biar terdengar sopan. Jadi, saya kira mungkin lebih cocok dipanggil om."

Hazza mengangguk. Masih menahan ketawa supaya tidak pecah. "Baiklah saya mengerti. Panggil saja Kakak. Saya juga punya adik perempuan, kira-kira umurnya sekitaran kamu. Dan kalau dia di sini pasti panggil saya Kakak." Hazza adalah tipe laki-laki yang sedikit menutup diri. Tidak banyak bicara, dan bawaannya terlihat ingin marah-marah.

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang