25. Kakak dan Adik

73 13 6
                                    

Selamat membaca 💙

🦋

Rumah sakit Nasional ini adalah rumah sakit terbesar nomor dua dan setelahnya Adinaja. Alkha pernah berpikir, jika saja almarhum sang kakek tidak mendirikan rumah sakit sendiri. Maka rumah sakit ini akan menjadi tujuannya untuk mengabdi pada negara dan masyarakat.

Sesuai yang selalu ia impikan, menjadi berguna bagi banyak orang. Mungkin Alkha bukan manusia sempurna, ia terlalu lemah untuk menjadi yang terkuat. Jika kecapekan sedikit saja maka mulutnya harus berkenan meminum obat.

Dan bercita-cita menjadi dokter sendiri bukanlah keputusan yang mudah. Salsabilla bahkan Surya sampai berkali-kali memastikan. Benarkah ingin menjadi dokter sesuai kehendak sendiri atau karena amanat sang kakek? Yang menginginkan supaya rumah sakit tersebut berada di bawah kepemimpinan seorang Alkhalifi nantinya.

Namun, Alkha selalu menjawab. Tidak akan ada yang disesali dari mimpinya. Tuntutan, keterpaksaan, sungguh bukan alasan yang patut untuk seorang Alkha yang begitu mencintai dirinya sendiri. Meski kata dokter Alkha didiagnosis mempunyai daya tahan tubuh lemah sedari kecil, ia yakin bisa menyanggupinya.

"Kak Alkha, aku boleh telpon Kak Rafanza?"

Zira berhasil mengalihkan perhatian pemuda yang penuh kerumitan itu. Lekas menunduk, sekedar merespons pertanyaan sang adik yang terkesan ragu-ragu. Lalu tersenyum sedikit jenaka. "Kangen ya sama Kak Rafanza. Atau masih khawatir karena belum datang juga?"

Zira tersenyum, tapi nyaris tak terlihat. "Gak boleh, ya? Kak Rafanza lagi sibuk?"

Sebenarnya dari dua tebakan yang dilontarkan Alkha semuanya benar. Semenjak kehilangan entah yang ke berapa kali. Zira semakin ingin menghargai yang namanya pertemuan, menghabiskan sisa-sisa waktu sebagaimana dunia memang tidak abadi.

Untuk itu, untuk memastikan kepuasan hatinya yang mulai peduli. Zira ingin tahu kabar kakaknya, dan ia rasa itu bukan perkara yang salah.

"Gak mungkin semisal ingin mengetahui kabar kakak kamu gak kakak izinin, kan?" Alkha lekas mengambil ponselnya di dalam saku.

Segera menyambungkan penggilan untuk menghubungi kakaknya, bahkan tidak segan melakukan video call.

Zira sendiri masih menanti, di sela-sela angin malam menyentuh permukaan kulit. Seraya melihat-lihat bintang di hamparan langit sana.

"Assalamualaikum, Bang."

Zira lekas mengangkat kepala. Senyumnya mengembang, tidak sabar ingin segera berbicara dengan kakak pertamanya.

"Waalaikumsalam, ada apa, Ka?" tanya Rafanza. "Apa Zira butuh sesuatu?"

Alkha melirik adiknya yang masih setia menanti, senyum tipis muncul ketika yang dilihat tampak menggemaskan.

"Iya, Zira butuh sesuatu katanya. Tapi tolong jangan marah-marah dulu kalau yang Bang Rafa lihat ternyata kita gak lagi berada di kamar rawat berbau karbol."

Pemuda yang terlihat di layar ponsel itu mengerutkan kening. Tidak mengerti yang dimaksud oleh adiknya. Hanya menangkap sekilas dedaunan yang bergoyang di belakang Alkha.

"Apa maksudnya? Kamu lagi di luar sama siapa?"

Lalu tanpa menjawab Alkha mengalihkan arah layar ponsel tersebut pada seseorang di kursi roda. Seketika Rafanza melotot, terkejut ketika melihat adik perempuannya berada di hamparan angin malam.

"Kamu kenapa bisa ada di luar? Kalau nanti masuk angin bagaimana? Kamu belum sembuh total."

Dan benar saja langsung panik, seandainya tidak sedang di luar kota dimana harus menempuh perjalanan udara, mungkin Rafanza sudah meninggalkan posisinya sekedar kembali membawa adiknya ke kamar perawatan.

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now