26. Perkara Rasa Sayang

64 15 6
                                    

Selamat membaca dan semoga suka ❤
.

"Terima kasih atas kesediaan Anda meluangkan waktu untuk membicarakan proyek yang akan segera kami garap," ujar Rafanza kepada salah seorang arsitek terkenal yang baru beberapa saat lalu bisa meluangkan waktunya yang sibuk.

Seorang arsitek bermata abu-abu, masih muda, tetapi sudah sukses baik di dalam maupun luar negeri itu mengangguk. Seulas senyum turut ia berikan. "Meskipun begitu saya tetap meminta maaf, karena baru bisa memenuhi pertemuan dengan Tuan Rafanza."

Isyhad Alghazi, atau biasa dikenal dengan julukan Arsitek Alghazi. Mastermind dari bangunan-bangunan yang telah berdiri sempurna di beberapa kota besar di Indonesia. Rafanza menilainya sebagai seseorang yang hidupnya begitu tertata, terarah, sorot matanya yang hidup seolah sudah menentukan tujuan ke depannya. Adalah keputusan yang tepat untuk bekerjasama dengannya. Ia yakin, proyek pembangunan kali ini pun akan berhasil.

"Tidak masalah, saya paham dengan kesibukan Anda. Hasil karya Anda sangat diminati oleh para pengusaha di seluruh penjuru negeri," puji Rafanza sepenuh hati.

Lantas mampu membuat Ghazi cukup tersanjung. Tentu saja se-terkenalnya seorang Ghazi, nyatanya reputasi seorang calon CEO Adinaja jauh lebih unggul. Dilihat dari kontribusinya dalam memajukan negara dan kecakapannya dalam berbisnis.

"Ah, terima kasih. Saya merasa terhormat atas sanjungan Anda." Ghazi menyimpan satu tangannya di dada, menunjukkan rasa hormatnya pada pemuda yang satu tahun lebih tua darinya.

"Baiklah mari kita mulai ke inti dari proyek ini. Yaitu pembangunan Adinaja Eminence."

Selama hampir satu jam meeting itu berlangsung. Akhirnya mereka pun mengulurkan tangan pertanda dimulainya kerjasama untuk membangun proyek tersebut, dan memulai kontruksi pada bulan mendatang.

"Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Rafanza. Kalau begitu saya undur diri," pamit Ghazi kemudian. Lantas meninggalkan gedung anak perusahaan Adinaja, bersama salah seorang asistennya.

Rafanza membenarkan jas navy yang dipakai. Senyumnya mengembang karena setelah meeting ini akan kembali ke Jakarta. Tidak sabar ingin segera bertemu sang adik kesayangannya. Azeera Belvia. Yang masih dirawat di rumah sakit, butuh sekitar lima hari lagi agar Zira bisa pulang.

Sementara itu di serambi Adinaja Group. Ghazi menerima telepon dari orangtuanya di desa, rumah yang sangat Ghazi rindukan. Ia harap setelah puncak kesuksesannya yang begitu membanggakan umi dan abinya selesai tercapai, Ghazi bisa menghabiskan waktu bersama mereka dengan waktu yang cukup lama. 

***

"Kak Hazza?"

Baru saja Hazza masuk ke ruang rawat inap sang adik. Ia langsung disambut senyuman manis berlesung satu milik Zira. Gadis berhijab merah maroon yang cantik meski masih memakai stelan pasien. Salsabilla pun senantiasa tak lelah menunggu dan merawatnya dengan baik. Bergantian dengan sang bunda serta tantenya Ayana.

"Assalamualaikum, Zira, Mama Billa," salamnya serta merta lalu mencium tangan Salsabilla.

"Waalaikumsalam, syukur kamu sudah datang Hazza. Mama mau segera mengurus kepindahan Zira ke rumah kita," ujar Salsabilla.

"Tapi, Mama Billa. Bukannya masih lima hari lagi, ya?" Nada suara Zira yang sangat pelan, menandakan bahwa sudah ingin segera pulang pun berhasil menarik perhatian kakaknya.  Pemuda bermata dingin itu mengusap kepala Zira. Julukan senyumannya yang irit pasti hilang jika sudah bersama Zira.

"Nggak apa-apa, biar nanti saat kamu pulang semuanya sudah siap, bersih dan rapi. Nanti kamu pasti bakal suka, Mama Billa, Bunda Raisa dan Mami Ayana sudah selesai mendekorasi kamar kamu. Sekarang tinggal harus ditata biar tambah cantik."

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now