34. Trauma

89 11 2
                                    

Harsa meneguk ludah, bukan kali pertama sebenarnya berhadapan dengan Hazza tanpa siapapun di sekitarnya. Namun, hari ini pikirannya sedang kacau. Selain karena Rangga yang masuk penjara, tetapi kenyataan bahwa beberapa waktu lalu ia terbangun di dalam kamar hotel bersama Lita--mantan kekasih dari sahabatnya sendiri.

Ia jadi berpikir macam-macam. Padahal Harsa yakin tidak melakukan apa-apa dengan Lita. Namun, bagaimana jika ternyata ... dia mabuk dan tidak ingat? Atau, dia benar-benar dijebak?

Tak!

Suara sendok yang beradu dengan gelas ketika mengaduk teh chamomile berhasil menyentak kesadaran Harsa. Pemuda bermata atraktif dengan rambut acak-acakkan itu mengerjap pelan. Dan kembali sadar sedang berada di mana.

"Ada apa sebenarnya?" Ia pun membuka suara, tak luput memerhatikan sang kakak yang sedang sibuk menyimpan dua gelas teh di atas meja tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Kenapa tiba-tiba sok peduli?" Lagi, pertanyaan yang tidak akan terlewat.

Sebenarnya di lubuk hati paling dalam--meski berusaha tak mau mengakui--Harsa merasa senang. Setelah sekian lama akhirnya ia kembali merasa dianggap oleh Hazza setelah insiden balapan motor yang berakhir di kantor polisi.

Meskipun terkesan terlambat, tetapi Harsa sadar setiap manusia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kesalahan apapun. Begitu pun dengan kakaknya. Harsa berharap, persaudaraan mereka akan membaik ke depannya setelah hari ini.

"Mau bahas soal Rangga yang masuk penjara karena Abang?" katanya lagi. Geram sebab Hazza tak kunjung buka suara. Akhirnya langsung ke inti tanpa basa-basi.

Baru saat itu, pergerakan Hazza terhenti. Sorot mata dinginnya menatap Harsa. "Kamu sudah tahu?" tanyanya dengan suara berat.

Harsa sudah biasa dengan sikap Hazza, sehingga meskipun tampak sok peduli tetapi dinginnya masih menjiwai, Harsa tidak merasa kaget. Ia mengedikkan bahu. Bersandar pada kursi seraya melipat tangan di dada.

"Informasi tentang Rangga mana mungkin aku gak tahu."

"Kamu gak terlibat, 'kan?" tandas Hazza tanpa ragu. Bahkan ia menatap sangsi untuk mengetahui reaksi seperti apa yang akan Harsa tunjukkan setelah ia mengungkapkan kecurigaannya.

Namun, persis seperti yang Hazza duga. Harsa pasti akan murka. Lihatlah pemuda yang--masih terlihat lusuh usai pulang setelah menghilang semalaman-- itu berdiri dengan menatap tajam. Mungkin merasa dituduh atas perbuatan yang tidak dia lakukan?

"Lo pikir, gue manusia macem apa?"

"Harsa!" Suara Hazza naik satu oktaf. Refleks memijat singkat kepalanya yang terasa pening. Lagi-lagi, Hazza hampir ikut terbawa emosi.

"Malam tadi Abang ketemu Rangga di kantor polisi. Bicara sama dia, soal kamu terlibat atau nggak. Kamu tahu dia jawab apa?!" Jeda. Hazza mendorong bahu Harsa dengan telunjuknya. " 'Tanya aja sama Harsa, dia paling tahu.' Abang cuma mau denger dari mulut kamu sendiri, kalau seakrab apapun kamu sama Rangga. Kamu tidak seperti dia!"

Harsa mematung, kedua bola matanya bergerak gelisah. Tak habis pikir dengan jawaban Rangga yang seolah menuduhnya terlibat. Entah kenapa terasa janggal, padahal ia sendiri baru tahu kalau ternyata Rangga adalah salah seorang pengedar narkoba. Maka bagaimana mungkin Harsa dituduh salah satunya?

"Jangan rusak kepercayaan keluarga kita, Harsa," lanjut Hazza dengan penuh penekanan.

Harsa berdecih, ia kira pembicaraannya dengan Hazza kali ini akan memberi sedikit efek perubahan baik bagi persaudaraan mereka, tetapi ternyata salah besar.

"Gak penting aku jelasin apapun sama Abang, karena Bang Hazza gak akan percaya 'kan? Karena seharusnya kalau Abang percaya, gak akan pernah Abang tanyain ini sama Harsa." Harsa melangkah mundur, hendak pergi. Namun, tertahan lagi ketika Hazza kembali angkat suara.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now