7. Hanya Karena Bernama Zira

116 21 7
                                    

Selamat membaca dan semoga suka ❤
Kalau sekarang alhamdulillah gak lupa. 😉 bisa update sesuai jadwal.

🦋

"Assalamuakaikum, Gus. Ini Zira."

Seperti waktu yang mendadak berhenti. Atmosfir di ruangan luas itu seketika sunyi. Semua orang mengalihkan atensi pada gadis yang nenyebut dirinya Zira. Alkha langsung menoleh cepat, menyambar kacamatanya di atas meja. Menjauhkan tangan si perawat yang masih belum selesai mengobati lukanya. Ia segera berdiri. Memfokuskan pandang pada sosok gadis, yang seakan sedang membuka tabir ketidaktahuan akan keberadaan adiknya. Kembalinya Azeera, tentu akan mengobati seluruh rasa bersalahnya.

"Zira?" Harsa bergumam, masih mencerna satu nama yang disebutkan. Sebuah nama yang selalu ia ingat dan tertanam di kepalanya. Dari ketika gadis kecil itu lahir sampai mungkin kini ia sudah beranjak remaja.

Mata atraktifnya menoleh pada gadis asing yang beberapa waktu lalu ia kira adalah Zira, tetapi ketika kakaknya Hazza menjelaskan alasan membawa gadis itu ke rumah Adinaja membuat Harsa mengembuskan napas lesu. Namun, detik ini. Satu nama itu dan sosok nyata seorang remaja muslimah di hadapan. Seolah telah membangunkan harapan yang sempat mati.

Apakah mungkin, gadis itu sebenarnya adalah adik sepupunya Zira?

"Sebentar!" Sabiru berseru. Pemilik netra biru sesuai namanya itu menautkan kedua alis. Mengingat-ingat apa apa yang ia ucapkan tadi siang. "Masa ... ucapanku langsung dicatat sama Allah lalu dikabulin?" monolognya pada diri sendiri.

"Perasaan amalku masih sedikit sampai tiba-tiba doaku langsung diijabah?" lanjutnya. Si yang tidak tahu eksistensi seorang Zira kecil pun turut bergelut dengan isi pikirannya.

Namun, tidak ada yang menjawab. Kecuali mendapat pelototan halus dari Ayana. Mamanya. Menyuruh Sabiru diam, sebab waktu ini sedang dihabiskan pergelutan isi kepala masing-masing. Menerka-nerka, siapakah sosok Zira di hadapan mereka ini?

***

"Njeh, Gus. Apa boleh Zira minta nomor telepon Tante Safrina, Gus?" Zira menggigit bibir, ketika Gus Rifki mempertanyakan yang terjadi. Zira takut jika ia bilang terpisah dari tantenya, maka keluarga pesantren akan khawatir padanya. Namun, Zira juga tidak mungkin berbohong. Karena tidak ada yang tahu, darimana pertolongan itu akan datang.

"Ngapunten, Gus. Zira sama Tante Safrina ke pisah di supermarket karena sedikit insiden. Jadi, Zira harus cari Tante Safrina karena pasti beliau juga sangat khawatir."

"Subhanallah, Zira. Lalu sekarang ada di mana? Kamu baik-baik saja, toh?"

"Alhamdulillah, Zira baik-baik saja. Kebetulan ada yang menolong." Zira menunduk, tanpa sadar bahwa penghuni di rumah besar itu sedang menajamkan pendengaran dan memerhatikan diam-diam.

Dari sedikit logat yang Zira gunakan. Meyakinkan seseorang bahwa gadis asing yang bernama Zira ini. Adalah  seseorang yang tempat tinggalnya dulu berada di salah satu desa yang berada di Jawa Tengah. Yang dua bulan lalu kehilangan ibunya. Kaira. Iya, Rafanza yakin itu. Dan kalau benar, maka informasi dari Pak Muiz sangat akurat. Namun, siapa Tante Safrina? Setahu Rafanza, Kaira sebatang kara.

"Apa kamu gak bertanya siapa namanya, Hazza?" celetuk Surya. Mengalihkan mata tajam Hazza.

Sebentar pria itu diam, menghela napas pelan sampai bahu tegapnya turun. "Hazza tanya, tapi gak sempet dijawab."

"Kalau dia beneran Zira kita, apa yang akan kamu lakukan, Za?" Rafanza memutar tubuh, netra hitam legamnya menatap si sepupu.

"Aku gak akan biarin dia pergi, gak peduli siapapun tantenya. Aku gak akan percaya siapapun lagi," tukasnya tegas. Membuat Rafanza mengangguk-anggukkan kepalanya.

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now