10. Keluarga Ayah?

104 19 6
                                    

Selamat membaca. 🦋

"Ibu, Zira suka diejek sama teman-teman di sekolah. Katanya Zira gak punya Ayah. Soalnya Zira gak pernah dijemput sama Ayah."

Gadis dengan surai panjang dan sedikit ikal itu merengek. Kedua tangan memeluk kaki sang ibu yang sedang sibuk menggoreng telur dadar untuk makan siang.

Hampir setiap hari sejak putrinya duduk di bangku kelas tiga SD, Zira selalu menangis sepulang sekolah. Karena tidak bisa berbuat banyak setiap kali mendapati ejekan teman-temannya itu. Karena Kaira selalu bilang untuk tidak ikut membalas. Hal itu lah yang nantinya membuat mereka senang.

Tapi Zira hanya anak kecil, sering merasa kesal dan terkadang rendah diri karena ledekan spontan mereka.

"Katanya kalau nanti Ibu meninggal, Zira gak akan punya siapa-siapa. Itu benar, Bu?"

Zira mengangkat kepala melihat Ibu, matanya berair, hidungnya memerah. "Kalau gitu Zira mau berdoa yang lebih panjang lagi sama Allah. Biar Ibu gak pernah tinggalin Zira."

Padahal Zira sudah bilang kalau Zira punya Ayah tapi kata Ibu Ayah sudah meninggal. Tapi mereka malah bilang kalau nanti Zira akan tetap hidup sendirian. Ibu, Zira gak suka sekolah."

Kaira menghentikan aktivitasnya. Wanita itu mematikan kompor, mencuci tangan lalu mengelapnya dengan handuk kecil. Pelan-pelan ia melepaskan tangan Zira di kaki, lantas berjongkok supaya wajah mereka sejajar.

"Zira, kamu tahu tidak?" tanya Kaira. Senyumnya yang lembut telah diwariskan pada sang putri.

Zira menggeleng, anak kecil polos itu menjawab jujur. "Nggak."

Kaira melingkupi tangan mungil Zira. Mencium sekilas lalu mengelusnya. "Ibu selalu percaya, kalau nanti kamu akan tumbuh menjadi orang yang hebat. Jangan mendengarkan apa kata orang lain, kamu juga tidak perlu menjelaskan tentang diri kamu kepada mereka. Karena suatu hari nanti, kamu akan membuktikan bahwa yang mereka katakan tidak benar. Jika memang Ibu yang nanti akan meninggalkan kamu lebih dulu."

Zira tersentak. Ia mendorong tungkainya ke belakang. Tiba-tiba saja semua hening. Isi kepalanya berputar mengingat hari itu. Mungkin saja yang dibilang Ibu benar. Ia tidak akan hidup sendirian meski ibu sudah meninggal. Tadinya mengira karena hadirnya Tante Safrina, tetapi ternyata ada teka-teki lain yang baru ia temui.

Ucapan ibu seperti petunjuk yang belum mampu Zira mengerti. Kalau sebenarnya ia masih mempunyai keluarga. Meski ayahnya sudah meninggal, tetapi keluarganya masih ada. Dan poto keluarga itu lah yang menjadi petunjuknya.

Sampai kemudian ia menunjuk figura itu seraya bertanya, "Itu, bukannya poto Almarhum Ayah dan Ibu?"

Ia bertanya terang-terangan. Sungguh Zira tidak bohong, ia sudah tidak sabar ingin tahu kebenaran. Karena dari bagaimana keluarga itu begitu baik padanya, Zira tidak ingin merasa kege-eran karena asumsinya sendiri.

Belum sempat ada yang menjawab, karena tenggelam oleh rasa terkejut. Tiba-tiba seseorang berseru di antara meja makan itu.

"Yes!" Sabiru mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi. "Ucapan itu benar-benar bisa menjadi doa. Lihat itu Tante Raisa, Biru sebentar lagi tersingkir dari posisi bungsu," katanya berapi-api, tidak paham situasi.

Seketika Ayana melotot, tidak segan menendang tulang kering putranya.

"Sakit, Bunda." Sabiru merengek, sambil mengelus-elus bagian yang sakit.

"Kamu yang gak tahu tempat, Biru. Jangan bandel sedikit bisa, 'kan? Sekarang ini bukan saatnya untuk bercanda." Ayana berbisik gemas, memperingati Sabiru. Tidak peduli anaknya itu bersungut-sungut dengan bibir cemberut. Yang penting Sabiru bisa diam.

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now