30. Rencana Perjalanan ke Purbalingga

71 15 6
                                    

"Loh, kenapa turun lagi? Katanya mau lihat adikmu?" tanya Surya, penasaran. Sampai-sampai Rafanza berani bertingkah tak seperti biasanya. Surya sampai geleng-geleng kepala. Memang kalau sudah urusannya Zira, Rafanza bisa bersikap  seratus delapan puluh derajat berbeda. Apa tidak malu kepada adik-adiknya?

"Sampai pembicaraan serius kita kamu tinggalkan. Ada apa?" katanya lagi dengan sedikit menyindir.

Rafanza menghela napas, ia berjalan mendekati ayah serta adik-adiknya dan kembali duduk dengan mereka. "Sebentar, ada hal lebih penting yang harus Rafa sampaikan, Pa," ucapnya kembali.

"Apa itu?" Kini giliran Ilham yang menimpali.

"Ayo ke Purbalingga." Tiga kata, mampu membuat satu keluarga itu tercengang.

"Kita ziarah ke makam Tante Kaira."

***

"Beneran?" Sabiru memastikan. Hari ini ia mendapat gosip baru dari Bu Willi. Yang diam-diam mendengarkan percakapan para anggota keluarga yang lain, dan sayang Sabiru tidak dilibatkan dengan alasan masih di bawah umur. Sabiru sampai kesal sendiri, memangnya pembicaraan mereka itu dewasanya sampai tingkat mana, sih? Bisa-bisanya dibilang masih di bawah umur padahal Sabiru baru saja dapat KTP.

Sabiru jadi curiga. Jangan-jangan ada rahasia kriminal yang disembunyikan keluarga ini?

"Jangan mikir macam-macam Nak Biru," tegur Bu Willi. Seolah tahu isi kepala Sabiru. Mentang-mentang sudah mengurus Sabiru dari dia baru brojol ke bumi.

"Abis mereka gak libatin aku sama Zira. Padahal yang diomongin cuma rencana ke Purbalingga. Jadi aku pikir mereka menyembunyikan rahasia besar yang gak bisa diketahui oleh aku. Iya, 'kan, Bi?"

Bu Willi kini tertawa, wanita paruh baya yang sudah mengabdikan seluruh hidupnya di keluarga ini mengusap kepala Sabiru. "Tentu saja yang kamu tuduhkan salah, Nak. Tidak begitu konsepnya. Mereka hanya membicarakan pekerjaan, hak waris dan berbagai macam yang pastinya buat Nak Biru malah sakit kepala."

"Huft." Sabiru mengembuskan napas berat. "Biru udah tujuh belas tahun, Bi. Bahkan sebentar lagi delapan belas. Seharusnya gak ada alasan buatku gak dilibatin. Mereka aja yang gak mau keganggu sama aku. Itu poinnya."

"Nah itu tahu." Spontan Bu Willi. Membuat Sabiru semakin memanyunkan bibirnya.

"Kak Biru, bibirnya kenapa monyong begitu? Abis cium panci panas?"

Sabiru mengelus dada, belum selesai rasa kesalnya karena masalah tadi, sekarang dituduh habis cium panci. "Bukan pancinya aja, tapi pantatnya juga aku cium, Ra."

"Ha ha." Zira tertawa sampai suaranya hampir menghilang. Bisa-bisanya tingkat humornya sebatas kekesalan si kakak bungsu. "Aku, 'kan, cuma bercanda, Kak. Kenapa marah-marah?"

Sabiru memegang kedua bahu gadis berkerudung itu. Sementara Zira menatap lamat-lamat keseriusan sang kakak. "Aku punya kabar bagus, dan pasti bikin kamu seneng banget, Ra. Kamu mau tahu, gak?"

Yang ditanya mengangguk mantap. "Mau, apa itu?"

Sabiru tersenyum miring, ia menurunkan kedua tangan lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Membuat Zira menatap curiga, pasalnya ia sudah tahu gerak-gerik Sabiru yang bisa di luar nalar. Maka dari itu, Zira mulai bersiaga jika Sabiru aneh-aneh. Dan akan segera melapor pada ke-empat kakaknya.

"Tapi mahal, harus ada bayarannya."

Tuh, 'kan, Zira bilang juga apa. Tahu gitu Zira gak usah ke dapur biar gak bertemu Sabiru.

"Bayaran apa? Aku gak punya uang." Dan untungnya Zira punya jawaban yang bagus dan realistis kalau semisal,  ia mau menolak syarat Sabiru.

"Bukan bayaran pake uang, adikku sayang. Tapi pakai waktu."

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang