23. Imam Salat Zira

86 14 7
                                    

Alhamdulillah bisa update cepet dari biasanya. Itu karena takutnya hari senin besok ada kendala di real life jadi aku majuin updatenya hari ini, biar gak kelupaan atau telat. Hehe.

Selamat membaca. 💙

🦋

Suatu malam di satu tahun yang lalu. Pada saat rembulan terang benderang, bintang bertebaran di langit sana. Zira baru saja pulang mengaji, bersama Delvi dan Ufi. Kebetulan memang rumah mereka satu arah sehingga mereka sering pulang bareng. 

Zira pun lekas masuk ke dalam rumah.  Sederhana dan nyaman, meskipun hanya berdua dan kadang merindukan sosok ayah Zira tetap bersyukur. Karena meskipun begitu, Ibu sudah cukup menjelma menjadi sosok Ayah sekaligus Ibu. Wanita yang hebat, dan Zira sangat sayang padanya.

"Assalamualaikum, Ibu."

"Waalaikumsalam, sudah pulang?"

Ibu keluar dari dapur, sembari membawa nasi tumpeng yang sudah matang di dalam keranjang nasi bambu.

"Ulang tahun pernikahan Ibu sama Ayah?" Zira sudah tahu, setiap tahun Ibu akan membuat tumpeng dan kue. Untuk merayakan hari pernikahan Ibu dan Ayah. Lalu akan disedekahkan ke pesantren, dan berbagi kepada tetangga.

Ibu tak pernah satu kali pun melewatkan tanggal ulang tahun itu. Merayakannya dengan penuh suka cita, menghadiahkan pahalanya khusus untuk ayah. Dan Ibu juga sering menceritakan seperti apa sosok ayah padanya.

"Ayah kamu itu sangat baik, Ra. Dia sangat menghormati Ibu, lembut sifatnya dan baik tutur katanya. Itu kenapa Ibu tidak akan pernah melupakan ayahmu. Apalagi menggantikannya di hati Ibu."

Air mata Ibu berjatuhan. Zira sendiri tidak tahu betul alasan Ibu menangis. Begitu pilu dan menyakitkan. Sampai rasanya, kesakitan itu memenuhi rongga dada.

"Maafkan Ibu, Ra.

.
.
.
.

Kata maaf itu masih terngiang jelas di telinga. Ibu selalu mengatakannya padahal Ibu tak pernah satu kali pun menyakitinya. Ibu selalu baik, sayang padanya, tulus mendidiknya dengan baik. Namun, ada sesuatu yang ternyata  selama ini Ibu sembunyikan. Karena kata maaf itu bukan tak bermakna, ada maksud tertentu yang ingin Ibu sampaikan padanya tetapi sulit untuk diucapkan.

Namun, sekarang Zira tahu alasannya.

Almarhumah Tante Safrina yang memberitahu, menjelaskan semuanya. Tentang kepergian Ibu yang menjauh dari keluarga Ayah, dan tak pernah kembali pada mereka. Bukan karena mereka tidak baik, tetapi Ibu yang tidak bisa hidup dalam bayang-bayang merindukan Ayah.

Ayah yang tak akan pernah kembali, sementara tak ada obat dari rindu selain pertemuan. Maka pergi dengan alasan untuk mendapat ruang kerelaan mungkin jalan keluarnya. Hanya saja ada rasa bersalah yang membekas. Karena ada janji yang tak pernah Ibu tepati, yang mungkin saja hal itu melukai banyak orang.

Luka yang hanya akan sembuh, jika Zira kembali ke tempat di mana seharusnya ia tinggal.

"Kak?"

Setelah lama diam, Zira akhirnya membuka suara. Lima pemuda yang terhanyut dengan suasana sekitar pemakaman yang panas karena matahari begitu terik menoleh kompak padanya. Iya, mereka masih berada di pemakaman tetapi di lokasi berbeda. Yaitu tempat di mana ayah gadis itu dimakamkan. Saat pertama kali datang, Zira hanya diam mendoakan. Entah apa yang dirasakan gadis itu, tetapi sekilas Zira seperti sedang memikirkan sesuatu.

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now