22. Kembali Tersenyum

93 15 8
                                    

Selamat membaca. 😊

"Aihh sobat gue mukanya masih mesem aje, kenape lagi lo?" Arion baru datang, tiba-tiba saja cowok berlesung dua itu merangkul Sabiru. Sementara yang dirangkul lekas menepis tangan Arion sembari menatap tajam.

"Sobat lo ini lagi dalam mode gak mau diganggu. Jadi, Don't. Touch. Me!" Sabiru pun berlalu, Arion hanya bisa manyun karena kehilangan teman se-bobroknya meski hanya sementara.

"Rion, sabilah main basket mumpung belum masuk, nih."

Teman sekelasnya yang lain datang, bersama Ibra di sebelahnya. Pemuda bermata sipit itu sekilas melihat sosok Sabiru. Lagi-lagi beberapa hari ini Sabiru menjauhkan diri. Kebiasaannya ketika banyak pikiran, maka jangan diganggu adalah solusi paling benar.

"Kuy lah, Yuk Ib. Yang menang lo traktir, yak!" ujar Arion pada Ibra.

"Ogah banget kenapa jadi gue? Lo yang mau main."

"Kan lo kaya, masa gak mau investasiin harta lo lewat pahala dengan traktirin temen-temen lo ini."

Ibra mendelik malas, lalu memilih melanjutkan langkahnya menuju kelas. "Ada yang lebih butuh sedekah dari gue ketimbang lo."

Karena Arion juga tidak kalah kaya. Orangtuanya adalah dokter, kakaknya seorang produser. Tinggal Arion yang berencana menjadi seorang atlit. Ibra sendiri adalah putra dari pengusaha nomor dua setelah AD Group. Keluarganya berhubungan baik dengan keluarga Sabiru. Tak jarang keduanya mengadakan pertemuan. Saat Arya--Kakeknya Sabiru meninggal, orangtuanya adalah yang paling berkabung setelah keluarga itu sendiri.

Bagaimana tidak, sebab Kakek Arya lah mereka bisa berada di puncak ke dua ini. Itu kenapa Ibra selalu berusaha menjadi sosok sahabat terbaik untuk Sabiru.

"Nih, minum." Ibra memberikan teh kotak pada Sabiru. Agar temannya yang sedang merangkai rumus matematika demi mendapat hasil dari soal paling susah itu sedikit santai. Agar Sabiru bisa lebih tenang ketika memikirkan saudarinya yang belum sadar.

"Kemarin gue sama nyokap ke rumah sakit nengok adek lo." Ibra duduk di sebelah Sabiru. Tahu jika pemuda bermata biru itu tak ingin diganggu, tetapi Ibra lama-lama kesal juga karena sikap Sabiru yang masih kekanakan dan dari dulu belum berubah.

"Thank's," repons Sabiru. Diminumnya teh itu lalu kembali berkutat pada buku.

Ibra hanya mengangguk pelan. "Nyokap gue bingung soalnya baru tahu ternyata lo punya adik. Terus setelah gue bilang dia anak siapa, baru nyokap gue ngeh. Dia ternyata kenal sama nyokapnya Zira. Katanya dulu pernah beberapa kali ketemu."

"Oh, ya?" balas Sabiru. "Syukur, deh kalau pernah kenal."

Ibra berdecak. Tidak berpengaruh ternyata mengajaknya ngobrol banyak. Memang manusia ini hidupnya sesuai mood. Dan terang-terangan ketika moodnya sedang tidak bagus. "Pulang sekolah nanti. Gue, Arion sama temen-temennya Zira mau nengok. Udah dibolehin, 'kan?"

"Jangan dulu, Zira belum siuman. Nanti aja kalau dia udah bangun terus baikan. Kasian nanti malah keganggu sama kalian."

Dan bicaranya pun sangat seenak jidat. Apa yang dia pikirkan bisa langsung ia tembak begitu saja. "Oke gak jadi." Ibra jadi kesal. Karena itu memilih menghentikan obrolan.

Baru saat situasi terbalik, Sabiru merasa tidak enak hati. "Sorry, gue gak maksud ngelarang cuma--"

"Its, okay," potong Ibra cepat. Geli ketika berada di posisi di mana Sabiru merasa bersalah dan menunjukkannya dengan wajah memelas. Maka dari itu supaya tidak muntah, Ibra memotong lebih dulu. "Gue ngerti, nanti gue kasih tahu mereka biar jenguk adek lo ntaran aja."

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang