14. Aku Punya Rencana

98 20 5
                                    

Selamat membaca dan semoga suka. 💐

"Jadi?"

Harsa menaikkan satu alis, menunggu kabar apa yang dibawa oleh sepupunya itu. Sampai nekat datang ke tempat yang pastinya sangat menganggu Alkha lahir batin. Lihat saja sekarang tingkah pemuda berambut sedikit gondrong itu. Sibuk menyantap sate dengan lontong, seolah baru saja menemukan makanan setelah tiga hari.

"Sebentar, aku lagi makan." Alkha berucap di sela-sela kunyahannya. "Makanlah, Sa. Ini rasanya enak banget, loh."

Yang ditawarkan mendelik tajam. Memandang kudapan sate serta lontong yang terpajang di atas meja. Sepuluh tusuk sudah habis dimakan Alkha. Tinggal sisa sepuluh lagi. Tiba-tiba lidahnya tergiur, jika tidak menutup bibir mungkin air liurnya menetes.

Tidak, tidak. Harsa menggeleng cepat. Makanan itu tidak bagus untuknya. Terlebih tempat ini berada di pinggir jalan. Sungguh, Harsa pasti mual jika memasukkan satu tusuk saja ke dalam mulutnya, sambil membayangkan air tidak penuh di dalam ember untuk mencuci piring berulang kali itu kembali membuatnya ... err, Harsa tidak mau!

"Gak, aku gak biasa memakan makanan di pinggir jalan."

Seperti orang yang tersinggung, Alkha mendengkus. Namun, ia tetap menerbitkan senyum.

"Padahal ini enak banget. Sate ayam ini favorit banget di sini, Sa. Meskipun di pinggir jalan, tapi makanan di warung Pak Mamat itu semua bersih. Sehat, udah terjamin. Tinggal kita bisa mengelola porsi saja." Pemuda berkaca mata itu kembali memakan sisa sate selanjutnya.

Duh, perut Harsa semakin keroncongan. Sate ayam yang diluluri bumbu kacang seketika membuatnya meneguk ludah. Jemarinya hampir mengambil satu tusuk sate itu, tetapi karena tidak ingin kemakan omonganya sendiri, ia berdalih mengambil benda pintar miliknya di samping piring.

Menyadari itu Alkha diam-diam tersenyum. "Kalau gengsian, perut kamu bakal keroncongan, Sa. Makanlah. Aku sangaja ajak kamu ke sini biar makan bareng. Aku gak sempat makan di rumah, harus ketemu kamu tadi."

Sebenarnya bukan hanya sengaja, Alkha memang berniat berbicara santai dengan Harsa. Terlebih ia tidak ingin kalau sampai bersitegang saat berbicara. Untuk mengambil kepercayaan adik sepupunya yang keras kepala itu, mungkin harus dilembuti lebih dulu.

"Kalau gitu cepatlah bicara! Nunggu kamu makan lama Alkha. Aku gak sabar kamu mau bicara apa soal Zira? Jangan buat aku kesal!" Suara Harsa yang menggema, tentu membuat mereka menjadi pusat perhatian dari beberapa penunjung, meski dua pemuda itu menanggapi dengan tampang tidak peduli.

"Oke." Alkha menurunkan sendok. Meminum air yang disediakan Pak Mamat. Mengambil tisu gulung dan menyobeknya sedikit. Mengelap bibir kemudian.

"Kita kakak-kakak mu, berencana mau cepat-cepat bawa Zira pulang. Gadis itu tetap gak mau tinggal di rumah entah karena apa. Sabiru juga gagal bujuk dia, padahal dia berusaha mati-matian ambil hatinya."

"Dan kamu percaya Birru begitu?" sela Harsa dengan pandangan tidak yakin.

Alkha mengulum bibir. Seolah baru saja disadarkan dari hipnotis dalam memercayai adik bungsunya yang kelewat 'tidak bisa diajak serius.' "Soal itu, kurang tahulah. Pokoknya dia cerita begitu."

Tidak disangka hal itu menimbulkan tawa di bibir Harsa. "Parah, baru sadar lo bisa bodoh."

"Enak aja, lagian emang bener, kok. Di sekolah dia bisa menjaga Zira. Lagian, kalau Birru gak dipercaya lama-lama dia bisa kesinggung. Udahlah, nanti kita bicara soal adikmu itu."

"Adik lo juga."

"Terserah."

Seusai itu Alkha memanggil Pak Mamat untuk membayar. Dua puluh tusuk sate dan lontong ludes oleh Alkha sendiri. Mentang-mentang sebanyak apapun Alkha makan, hal itu tidak memengaruhi berat badannya. Pemuda alim bermata teduh itu, seringkali mengeluh karena ingin menaikkan berat badan supaya lebih ideal dengan tinggi badannya.

Azeera & Brother's StoryDove le storie prendono vita. Scoprilo ora