33. Perhatian Rafanza

49 10 2
                                    

Bunyi grasak-grusuk terdengar jelas di kamar bernuansa monokrom itu. Tadi sebelum pukul empat pagi, penghuninya baru saja mendapat sebuah informasi seseorang dari sebuah chat. Itu sebabnya, ia sudah bersiap lebih dari pagi-pagi.

Mandi sebelum subuh, melaksanakan salat ke masjid bersama sang ayah--padahal hal itu jarang sekali ia lakukan--entah apa yang merasukinya sampai sang ayah pun merasa heran.

"Kamu biasanya subuh begini masih malas-malasan, apalagi sampai salat tepat waktu?" tanya ayahnya terheran-heran.

Sementara yang ditanya menahan napas. Memang sebuah keajaiban ketika tadi begitu azan subuh berkumandang, ia lekas mengambil wudhu. Buru-buru memakai sarung dan koko, sempat heran dan meringis pelan. Namun, tetap mengejar ayahnya ketika baru saja melangkah keluar rumah.

Maka dari itu ia menjawab dengan gelengan tetapi kemudian berkata, "Gak tahu, mungkin lagi dapet hidayah, hehe." Sambil menggaruk tengkuk dan tertawa canggung.

"Selesai," serunya. Usai merapikan seragam, serta meletakkan barang-barang yang berserakan di dalam kamar ke tempat semula.

Dia itu sebenarnya pecinta kerapian, tetapi kadang ketika sedang banyak tugas dan menggeluti hobi ia bisa melupakan banyak hal termasuk merawat kamar agar tak berantakan. Untung saja sang ibu tak pernah melihat kelakuannya karena pintu tak pernah tak dikunci.

Sebab dia, paling tidak suka jika ruangan privasinya dikunjungi oleh siapapun termasuk Ibu dan Ayah. Dan untung saja, kedua orangtuanya memaklumi. Sebab, ia yang seperti itu adalah turunan sang ayah di masa mudanya.

"Ibra?"

Ibra berjengkit, diraihnya ponsel dan kunci motor di atas nakas. Kemudian membuka pintu dan menemukan sang ibu.

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan daster itu mengangkat alis. Melihat sang putra dari ujung kepala sampai kaki. "Ibu tahu kamu paling rajin berangkat ke sekolah. Tapi apa perlu, ya, masih subuh begini?" tanya Ibu, geleng-geleng kepala.

Ibra tersenyum canggung, kebiasaannya ketika gugup. "Oh, itu, aku ... di sekolah lagi ada tugas yang belum selesai jadi aku mau seleseinnya di sekolah aja."

Hilwa, Ibunya Ibra. Melongok ke belakang putranya untuk melihat jam di dinding kamar. "Ibra, jam setengah enam begini emang pagar sekolah udah dibuka?"

Yang ditanya spontan menggeleng. Sebab, Ibra lupa.

"Ibra, kamu lagi kenapa, sih? Ayah aja sampai heran loh, sama kamu. Gak biasanya pergi ke mesjid." Jeda, Hilwa tampak berpikir setelah ucapannya barusan. Kemudian mengerjap pelan. "Kalau soal ke masjid ya itu Ibu seneng. Tapi ini loh, Ibra. Masa ke sekolah subuh begini, mau saingan sama penunggu sekolah kamu?"

Ibra tertawa renyah. Matanya yang sipit sampai tampak tertutup. "Ibu, mana ada?"

"Ya udah, Ibra gak jadi ke sekolah sekarang. Nanti aja seperti biasa," putus Ibra pada akhirnya. Merasa bersalah juga membuat kedua orangtuanya sampai terheran-heran.

"Iya, lebih baik begitu. Kalau belum kerjain tugas, ya sekarang aja. Kamu 'kan pinter, gak mungkin lah sampai sejaman bikin tugas." Hilwa mengibaskan tangan, percaya memang putranya memiliki otak cemerlang dan bakat yang luar biasa.

Ibra meringis pelan, soal tugas itu sebenarnya Ibra berbohong. Ia refleks ketika harus membuat sebuah alasan yang logis untuk sikap impulsifnya ketika tahu hari ini Zira masuk sekolah lagi.

Ya ampun, kenapa ia jadi ribut sendiri, sih? Ada apa dengan dirinya yang begitu?

"Iya, kalau gitu Ibra masuk lagi ya, Bu."

Azeera & Brother's StoryWhere stories live. Discover now