9. Poto Ayah dan Ibu

94 20 9
                                    

"Halo, Zira. Kenapa kamu gak bicara dari tadi?"

"Sayang, kamu gak apa-apa, 'kan?"

Rafanza mematung, menatap nanar layar benda pipih di tangan. Jika benar gadis itu adalah Zira adiknya, lalu kenapa Rafanza masih ragu untuk percaya?

Karena apa mungkin pencariannya sudah selesai semudah itu? Adiknya yang hilang, dengan izin Tuhan datang sendiri menghampirinya. Lalu bagaimana nasib ikhtiar sang kakek yang mengerahkan segala upayanya untuk menemukan Zira. Padahal ternyata mereka masih berpijak di negara yang sama.

Memang benar, yang mempunyai kendali atas hal yang tertunda adalah waktu. Dan ia yakin yang dilakukan sang kakek tidaklah sia-sia. Ketulusannya untuk menemukan cucu kesayangannya, membuat Rafanza berharap akan menjadi balasan terindah untuk Almarhum Kakek di akhirat kelak.

Clue yang membuat Rafanza menebak bahwa gadis ini adalah Zira adiknya adalah, ia mengikuti petunjuk dari Pak Muiz. Zira tumbuh dan tinggal di salah satu desa di Jawa Tengah. Dan bagaimana Zira mempunyai sedikit aksen orang Jawa. Maka sudah tentu Rafanza meyakini dugaannya tersebut. Bahwa gadis yang bersama Hazza secara tidak sengaja itu adalah adik sepupunya yang hilang.

Namun, ada lagi yang membuat Rafanza terheran-heran. Jika Tante Kai dulu hidup sebatang kara lalu siapa Safrina yang dipanggil Tante oleh Zira? Apakah dia kepercayaan Tante Kai sampai berani menitipkan Zira kepada orang asing?

"Hallo, Zira?"

Rafanza tersentak, kembali ke dunia nyata setelah kepalanya di isi banyak pertanyaan serta terkaan. Pria dengan gaya rambut undercut itu menghela napas, satu tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Sedang tangannya yang lain menggenggam gawai di telinga.

Angin berembus di sela-sela daun yang bergemerisik. Harum wangi dari tubuhnya menguar ke sekitar, tetapi hanya Rafanza saja yang menikmati wangi parfum favoritnya itu.

"Halo, Saya Rafanza."

Suara Safrina hilang di seberang sana. Pasti sedang bingung, karena bagaimana bisa sekarang yang berbicara berganti orang.

"Apa, Anda siapa? Di mana keponakan saya? Saya mohon jangan sakiti dia."

Nada khawatir begitu kentara dari lawan bicaranya. Rafanza menunduk, ia yakin. Safrina bukan orang sembarangan dan jahat. Karena itu Kai mempercayakan Zira kepadanya.

"Keponakan Anda berada di kediaman kami. Datanglah, ke kompleks perumahan elit Adinaja."

"Apa?"

Rafanza sedikit menjauhkan benda pintar itu di telinga. Suara nyaring wanita itu hampir menyakiti gendang telinganya.

"A-Adinaja?"

"Iya, saya Rafanza. Cucu pertama dari Arya Adinaja. Bisakah kami bertemu dengan Anda? Dan--"

"Ah, syukurlah."

Ucapannya terputus, embusan napas lega yang terdengar di seberang itu seketika menutup rapat bibirnya.

"Alhamdulillah, ternyata Zira ditemukan oleh kalian."

Hingga secara kontras aura mendung di wajahnya berganti cerah. Sadar atau tidak, dua sudut bibirnya membentuk bulan sabit. Perasaannya campur aduk. Antara senang dan ... masih tidak menyangka.

"A-apa maksudmu?"

"Zira putri Kai dan suaminya Angga. Tolong jaga dia. Saya akan segera ke sana. Terima kasih banyak."

Panggilan ditutup secara sepihak, Rafanza mendorong tungkainya ke belakang. Napasnya memburu, perasaannya meledak-ledak tak kuasa untuk ditahan. Lesung di pipi kirinya muncul kembali saat bibirnya membentuk senyum lebar. Mendung di dasar hatinya meluap seketika.

Azeera & Brother's StoryOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz