2. Zeera (16 Tahun Kemudian)

124 19 1
                                    

Tanah lapang di depan madrasah yang terhubung dengan masjid Al-Malik itu sedikit becek, sedang langit masih menurunkan sisa-sisa anai hujan.

Zira memeluk kitab setelah belajar, hendak pulang seusai berteduh di dalam madrasah sambil merojaah kitab safinah.

"Baru mau pulang kamu, Ra?" Seorang wanita berwajah manis baru saja datang. Hendak menyapu madrasah selesai belajar para santri.

Gadis berlesung satu di pipi kanan itu tersenyum. "Iya, Mbak. Habis tadi hujan gak bawa payung. Jadi neduh dulu."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Mumpung hujannya udah reda, cepet pulang, gih. Cuacanya gak nentu, nanti kalau hujan lagi berabe."

"Hehe, iya Mbak. Tapi Zira mau bantu Mbak Mirna dulu, deh. Biar cepet kerjaannya."

"Udah gak usah, ini sedikit cuma nyapu doang." Mbak Mirna tersenyum. Beliau adalah abdi dalem yang dipercaya oleh Kyai dan Nyai. Zira sedikit iri, pasalnya ia juga ingin menjadi salah satu santri seperti Mbak Mirna. Selain sudah dipercayai oleh sang guru, Mbak Mirna juga sudah mempunyai ilmu yang luas, sehingga kadang kala beliau membantu mengajar para santri dari kalangan anak-anak SD.

Pesantren yang berada di tengah-tengah pemukiman warga serumpun ini, tidak hanya menyediakan asrama untuk para santri dan santriwati yang tempat tinggalnya jauh. Melainkan juga mempunyai sistem kalong untuk santri yang tinggal di sekitar. Di mana para santri maupun santriwati tidak perlu menginap. Waktu belajar pun biasanya seusai zuhur, lalu maghrib. Setelah itu sambung lagi waktu subuh. Dan Zira merupakan salah satu santri yang menggunakan sistem kalong tersebut. Karena jarak rumahnya dengan pesantren sangat dekat.

Sesepuh yang menggurui pun sangat disegani di kampung ini. Banyak santri yang menuntut ilmu dari beliau. Zira juga tidak mau kalah, berbakti pada sang guru bisa memberi keberkahan untuknya.

Oleh sebab itu, Zira masuk ke rumah Nyai Elis. Beliau adalah istri dari Kyai Burhan. Selaku dewan pesantren tersebut.

"Loh, Zira ada apa Nak? Ngaosnya sudah selesai?" Nyai Elis baru saja keluar kamar. Mukena masih terbalut di tubuhnya.

"Ini, Nyai. Ada yang bisa Zira bantu?" tanyanya lugu. "Katanya, besok mau ada syukuran aqiqahan Dek Suci? Zira mau ikut bantu-bantu."

"Oalah, maasyaallah. Ya sudah ayo masuk." Nyai Elis sangat senang. Muridnya Zira ini memang selalu berluas hati berbuat baik.

"Njeh, Nyai."

Di dapur, Zira menemukan beberapa santri yang juga sedang membantu. Ah, Zira kalah cepat. Seharusnya saat hujan tadi Zira ke rumah Nyai Elis saja. Meneduh sambil bantu memasak. Selain karena mendapat berkah, tetapi juga bisa menambah ilmu memasaknya

"Wahh, Mbak Zira ke mana saja? Ufi tunggin dari tadi siapa tahu mau bantuin." Siswi SMP kelas satu itu langsung menyalami tangan Zira--Adik kelasnya dulu di SD. Lingkungan kampung pesantren ini memang sangat positif. Adab mereka sangat terjaga, ajaran islam sudah berdarah daging dalam sanubari. Itulah kenapa, Zira betah sekali tinggal di lingkungan ini.

"Iya, nih, Mbak tadi neduh di madrahasah. Kirain kalian udah pada pulang, eh ternyata lagi pada di sini, hehe." Zira menggaruk kepala tidak gatal. Merasa tak enak hati.

"Gak apa-apa, Zira. Maaf gak kasih tahu tadi, abis Mbak udah kebelet jadi gak sempet bilang," sahut salah seorang santriwati senior juga.

"Iya, Ndak apa-apa, Mbak. Zira bantu apa, ya?"

"Ini aja, Zira. Bantu kupasin kentang, ya. Nggak keburu tadi. Soalnya Ufi sama Delvi baru selesai buat nasi. Ning Wardah juga baru pulang dari pasar, jadi belum sempet."

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang