4. Fakta Mengejutkan

101 23 4
                                    

Selamat membaca dan semoga suka. ❤

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya.

🦋

Rafanza Aarav Adinaja. Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun itu, segera meraih gawainya di atas doashboard. Garis wajahnya yang tegas, serta sorot mata hitam legamnya menatap nama yang tertera di layar. Sebentar ia menoleh ke samping mobil sebelum menggeser tombol hijau mengangkat panggilan, lalu menempelkannya di daun telinga.

"Assalamualaikum, Pa."

Rafanza menghela napas. Dilepasnya stir mobil, kemudian menyandarkan tubuhnya secara sempurna di sandaran kursi. Ketika sang papa menelpon sekedar memintanya untuk pulang.

Padahal Rafanza sedang ingin menenangkan diri, seusai meninggalnya sang kakek. Meski dari luar Rafanza tampak tidak berduka, tetapi dalam hatinya justru Rafanza sedang remuk. Kebiasannya yang tidak akan pernah hilang, yaitu selalu bisa menyembunyikan perasaannya.

Karena bagaimanapun, sang kakek adalah sosok berjasa dalam hidupnya meski Rafanza seringkali mengecewakan kakek karena tidak pernah akur dengan Hazza. Bukan kemauan Rafanza, tetapi sikap Hazza lah yang selalu bertolak belakang dengannya. Dan menutup akses persaudaraan dengan yang lain.

"Apa perlu, Pa. Membahas pembagian warisan di saat kuburan kakek saja masih belum kering?" tanya Rafanza sedikit dongkol. Rasanya bukan waktu yang tepat di saat dirinya saja masih sibuk berduka. Namun, justru mereka malah mementingkan pembagian warisan. Sungguh tidak bijak rasanya.

Tiba-tiba Rafanza tersentak lalu memajukan tubuhnya. Matanya menelisik kedatangan sebuah mobil yang memasuki rumah berukuran besar, yang sudah seringkali ia datangi untuk mendapatkan informasi tentang Zira, adiknya. Iya, Rafanza akan kembali memulai misinya mencari Zira tidak peduli meski saudaranya yang lain menyerah.

"Apapun itu Rafa gak bisa pulang." Tangan besarnya segera melepas sealtbeat dengan buru-buru. Sedang telinganya masih setia mendengar ocehan sang papa.

"Rafa lagi di luar kota, Pa" jelasnya kemudian. "Bilang sama Pak Khairul, nanti saja kita membahas soal warisan itu."

Dan pasti, Rafanza tahu bahwa keluarganya akan melakukan yang dia putuskan. Sebab tidak pernah Rafanza dengar sebuah penolakan dari keluarga Adinaja untuknya, di setiap keputusan yang Rafanza lontarkan. Entah untuk dirinya maupun kepentingan keluarga itu sendiri.

Rafanza turun lalu menutup pintu mobil.

Bluk!

Kaki tingginya melangkah lebar, ujung bawah kemajanya berkibar diterpa angin. Langkahnya yang pasti segera membawanya memasuki area panti asuhan di tengah teriknya matahari menjelang ashar.

Setelah sampai di depan pintu berwarna putih tersebut. Rafanza mengangkat tangan mengetuk pintu. Langsung terdengar langkah kaki dari dalam menuju ke arah pintu. "Sebentar."

Rafanza melangkah mundur dengan Jantung berdegup kencang. Sedikit cemas, andai kali ini Rafanza tidak mendapatkan informasi apapun. Bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi Rafanza ingin membuktikan pada Hazza maupun Harsa, bahwa harapan menemukan Zira masih mempunyai lengangan kesempatan. Dan Alkha, akan terbebas dari rasa bersalah itu.

Mau bagaimana pun, nyatanya Rafanza masih sangat peduli pada saudara-saudaranya meski tak pernah ia perlihatkan secara langsung.

Azeera & Brother's StoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora