CH. 20

5.9K 1K 38
                                    

Siri tidak berani menatap mata Archie yang kini terarah tajam padanya. Mereka sudah berpindah ke dalam kamar Siri yang sekarang penuh dengan berbagai macam minyak angin beraroma. Archie menggeleng tak percaya dia sudah melewatkan tiga bulan tanpa bisa menemani Siri dalam proses kehamilannya. Archie sungguh membenci situasi dimana dirinya lagi-lagi tak tahu apa pun mengenai kehamilan pasangannya. Dia benci jika harus ada kejadian seperti dirinya dan Virginia.

"Aku nggak suka kamu menyembunyikan kehamilan." Archie dengan tegas berkata. "Apa kamu pikir aku akan membuat masalah kalo tahu kamu sedang hamil anakku?"

"Aku berniat bilang waktu kamu nginep terakhir kali di sini. Tapi mama kamu lebih dulu telepon dan kamu harus pergi ke LA."

"Kamu bahkan bisa bilang saat itu juga, Siri! Apa sulitnya bilang ke aku sebelum aku pergi ke LA?"

Siri menaikkan tatapan dan berkata, "Dan bikin kamu kepikiran sampai nggak mau pergi ke LA? Membuat mama kamu marah dan langsung memberitahukan mama kamu kalo ada wanita hamil yang harus saat itu juga kamu beri tanggung jawab?"

Archie sudah membuka mulut, tapi tidak ada satu kata yang keluar dari bibirnya. Dia yakin kemampuan verbalnya masih sangat bagus. Namun, semua kalimat yang ada di kepalanya mendadak saling bertabrakan. Dia ingin menyangkal pendapat Siri, tapi disisi lain dia merasa ada kebenaran dalam kalimat wanita itu.

"Aku memanga harus bertanggung jawab, Siri. Kamu hamil anakku."

"Ya, dan aku nggak melarangnya sama sekali. Aku hanya mau kamu punya waktu untuk memikirkan semua tindakan yang ingin kamu lakukan. Kalo malam itu kamu tahu, malam itu juga kamu akan membatalkan segala urusan perusahaan papamu."

Archie mendesah kesal. Siri sekali lagi memikirkan rencana jangka panjang yang benar. "Tapi seenggaknya kamu bisa bilang ke aku saat kita bicara jarak jauh, kan?"

"Dan membuat kamu buru-buru pulang sebelum semua urusan selesai seperti saat ini," ucap Siri yang sekali lagi benar.

"Kapanpun waktunya, nggak akan pernah tepat kalo kamu terlalu menata semua rencana begitu rapi. Toh, akhirnya perkiraan kamu yang mendetail itu juga nggak terjadi, kan? Nggak ada rencana manusia yang sempurna, Siri."

Bergantian Siri yang tak bisa berkata apa-apa dengan mulutnya yang terbuka. Perkiraannya memang gagal dan sekarang Archie sudah terlanjur berada di Indonesia tanpa menyelesaikan urusannya.

"Maafin aku. Memang nggak seharusnya aku menyembunyikan kehamilan ini dari kamu."

Archie mengangguk dan berseru, "Memang nggak seharusnya begitu! Aku ini ayahnya, jadi aku harusnya tahu lebih dulu dari semua masyarakat di LA yang melihat perut kamu dan mengetahui kehamilanmu yang harusnya kita rayakan dengan suka cita bertiga—aku, kamu, dan Serein."

Siri mengakui bahwa ini semua memang salahnya dengan lebih dulu memeluk tubuh Archie. Ada kerinduan yang sejatinya membuat mereka ingin sekali bermesraan ketimbang berdebat mengenai kehamilan Siri.

"Jangan membungkam aku dengan tingkah manja kamu, Siri. Let's talk."

"Kamu mau bicara apa lagi? Aku udah mengakui kesalahanku dan kamu udah tahu kehamilanku."

"Aku mau kita jadi keluarga yang resmi. Aku, kamu, Serein, dan anggota baru yang akan lahir dari rahim kamu."

Siri terkejut dengan ucapan Archie hingga tubuhnya membeku luar biasa. Ini sama dengan ajakan menikah, bukan?

"Kamu ... ngelamar aku?" tanya Siri.

"Apa kamu mau dilamar? Kelihatannya kamu ketakutan dengan komitmen sejak awal. Aku bingung harus bersikap bagaimana ke kamu, Siri. Aku ingin kita memiliki hubungan jelas, lalu anak-anak memiliki orangtua lengkap yang bisa memberikan mereka rumah beserta kasih sayangnya. Tapi sepertinya kamu keberatan dengan semua rencanaku."

Siri bukannya keberatan atau tidak mau, dia hanya takut.

"Aku jelas punya cita-cita memiliki keluarga yang ada untukku dan menyayangiku, Ar."

"Lalu, masalahnya apa sekarang?"

Siri menatap pria itu dengan tatapan yang sulit dipahami. Pancaran mata Siri tak bisa membuat Archie memahami semua pergulatan batin yang ada dalam diri wanita itu.

"Apa yang belum aku tahu dan membuat kamu sebegini ragunya untuk hidup berkeluarga?"

Siri masih terbungkam dan matanya semakin gusar ketika Archie berusaha menangkap getaran itu.

"Hey, let me know about it." Archie berusaha selembut mungkin, sebab Siri adalah wanita yang paling sulit diterka dan sulit untuk membagi lukanya pada orang lain.

"Apa kamu yakin mau mendengarnya? Karena mungkin pandangan kamu terhadap diriku yang sekarang akan berubah, Archie."

Archie tidak pernah mengetahui bahwa Siri memiliki sisi tak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki. Wanita itu terlihat selalu percaya diri dan tidak terkalahkan dengan apa pun. Archie mungkin tidak akan percaya jika Siri tidak bersikap demikian saat ini.

"Apa yang bisa berubah dengan pandanganku ke kamu? Aku bahkan nggak memikirkan apa-apa saat mengetahui kamu sengaja nggak bilang soal kehamilan ini."

Siri menggeleng cepat. "Ini beda, Archie. Ada pengalaman yang aku jalani dan itu sungguh nggak menyenangkan, dan itu menyangkut dengan kehamilan."

"Kalo gitu ceritakan ke aku, Siri. Supaya aku mengerti dengan apa yang terjadi dengan kamu di masa lalu hingga mempengaruhi kamu di dunia nyata."

Siri yang semula ragu, mau tak mau harus membagi lukanya yang telah lama coba dipendam dari orang lain.

"Aku pernah hamil sebelumnya. Sebelum bertemu dengan kamu." Siri memulai ceritanya dengan tenang.

Raut wajah Archie terlihat bingung. "Kamu janda? Sudah menikah seperti aku?" tanya pria itu.

Siri tidak mengiyakan karena memang wanita itu tidak sempat menikah—untungnya tidak jadi menikah dengan pria yang gila itu. Namun, kehamilannya dulu terjadi jauh setelah mengenal bajingan itu.

"Aku hamil dengan program Inseminasi Intrauterin (IUI). Tanpa harus berhubungan seks, aku bisa hamil dengan program tersebut."

"Apa itu sama dengan bayi tabung?" tanya Archie penasaran.

"Nggak. IUI lebih sederhana dibandingkan bayi tabung. Aku cuma butuh sperma untuk dimasukkan ke kewanitaanku dengan kateter."

"Kamu menggunakan donor sperma pria asing?"

Siri menghela napas untuk yang satu ini. "Aku nggak tahu apakah aku bisa bilang demikian. Waktu itu, aku yang pengen banget punya anak memilih mengikuti saran sahabat lama—yang sekarang udah nggak jadi sahabatku lagi—dia bilang dia didiagnosis nggak bisa hamil, sedangkan suaminya pasti menginginkan anak. Dia minta tolong ke aku sebagai ibu pengganti awalnya, tapi aku nggak mau. Itu sama aja rahimku disewa dan aku nggak punya hak apa pun untuk anakku. Aku memilih IUI dan dia menawarkan sperma suaminya. Aku ragu, tapi dia meyakinkan aku dengan baik. Akhirnya program itu berjalan dengan baik dan aku sangat beruntung karena dalam sekali percobaan aku langsung hamil."

Archie mengusap tangan Siri dan bertanya, "Kamu kenal suami sahabatmu?"

"Nggak sama sekali. Aku nggak diundang saat dia menikah tanpa aku mengerti apa alasannya. Dia datang ke aku lagi dengan curhatan bahwa dia nggak bisa hamil dan aku yang menginginkan anak. Aku hamil dan mengira bahwa dia akan menepati janjinya yang bilang akan membagi waktu dengan adil pada anak yang aku kandung. Tapi ternyata, begitu bayiku lahir ... bayiku dibawa lari dalam kondisi aku yang lemas dan nggak bisa apa-apa. Aku nggak tahu anakku dimana sampai sekarang."

Archie terlihat sedih ketika mendengar penjelasan Siri. "Kamu ditipu dan kamu takut kehilangan bayi lagi," gumam Archie.

"Ya, aku takut kehilangan bayiku lagi, Ar."

"Tapi aku nggak akan memisahkan kamu dan anak kita. Dia akan tumbuh bersama kamu dan aku."

Siri mendapatkan pelukan lagi dari pria yang tidak menanyakan hal lain kenapa Siri memilih hamil tanpa menikah sebelumnya. Archie benar-benar memilih mendengarkan apa yang Siri suguhkan sekarang.

Kamu luar biasa baik, Archie. Aku nggak mau kamu tersakiti tapi aku nggak mau kamu pergi.

[hohoho. Baca special chapter-nya juga, yopss💕💕💕 udah aku upload di Karyakarsa]

Daddy's In Hurry / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang