•05•

46.6K 3K 108
                                    

Renald perlahan menghampiri Rea yang sedang berbaring. Raut wajah Rea terlihat sedikit pucat. Rea hendak bangun tapi tubuhnya di tahan oleh Bevan, cowok itu tidak mau Rea semakin sakit.

"Lo masih sakit, jangan kebanyakan gerak." suara Bevan terdengar dingin.

Rea merasa tidak nyaman dengan posisi berbaring, apalagi saat Renald menatapnya. "Tapi kak---"

"Jangan banyak gerak, gue nggak mau lo makin sakit," ucap Bevan.

'Karena lo akan semakin ngrepotin gue nantinya,' lanjut Bevan di dalam hati.

Renald berdeham pelan. "Elah, perhatian banget lo bang. Dunia serasa milik berdua ... Acieee."

Bevan menatap tajam Renald. "Diem lo, udah pergi sana!"

"Nggak boleh gitu, masa gue di usir. Lagian lo kan tiap hari berduaan sama Rea masa sekarang juga mau berduaan," ucap Renald.

"Bisa diem nggak!" ketus Bevan.

Bukannya takut, Renald justru malah terbahak. Cowok itu sama sekali tidak peduli dengan sorot mata abangnya yang terlihat sangat tajam. Rea tersenyum tipis melihat tingkah kakak beradik yang ada di depannya.

"Masih demam Re?" Renald berlutut dan menempelkan punggung tangannya pada kening Rea.

Rea tersenyum. "Udah agak mendingan kok."

"Walaupun muka lo pucet tapi lo tetep cantik ya." Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Renald.

Rea tertawa pelan. "Makasih."

'Cih, gitu aja baper. Masih cantikan juga Tania.' Bevan lebih memilih duduk di kursi yang ada di dekat meja belajar.

"Cepet sembuh ya Re, gue nggak suka lihat lo sakit." Renald menatap lekat Rea dan menggenggam tangan Rea.

Rea menarik tangannya sambil tertawa. "Apa sih Ren, kamu bertingkah seakan-akan aku itu pacar kamu tahu nggak."

Bevan memutar bola matanya malas, ia muak melihat tingkah dua orang yang ada di depannya. Bevan tidak cemburu, hanya saja dia bosan. Lebih baik dirinya bertemu dengan Tania daripada harus merawat Rea.

"Bang, gue boleh pacaran sama Rea?" Renald menatap Bevan.

"Ambil aja." Bevan terlihat sama sekali tidak peduli.

Renald tertawa mengira ucapan Bevan hanyalah sebuah candaan belaka. "Nglawak lo bang, ambil aja lo kira barang. Dah lah, gue turun ke bawa dulu mau bilang ke Mama kalau Rea sakit."

***

Seharian ini Bevan hanya di rumah menemani Rea. Dan kini, malam pun mulai tiba. Badan Rea sudah agak mendingan karena telah meminum obat. Bevan menghela nafas lelah.

"Mau ngapain?" Bevan menatap Rea yang hendak turun dari kasur.

Rea menoleh. "Mau tidur."

Bevan mengernyit. "Mau tidur kok malah turun dari kasur?"

"Ya kan mau tidur di bawah, itu kan mau kakak," ucap Rea.

Bevan berdecak pelan. "Nggak! Lo tidur di atas."

"Berarti kakak yang tidur di bawah?" Rea berpikir jika Bevan pasti tidak akan mau tidur bersamanya.

Bevan melotot tidak terima. "Ya nggak lah, tidur di atas juga."

"Aku udah baikan kak, aku bisa tidur di bawah." Rea merasa tidak enak kala melihat raut wajah Bevan yang terlihat sangat terpaksa.

Rea hendak turun tapi tangannya langsung di tarik oleh Bevan. Rea menghela nafasnya dan akhirnya menurut. Bevan menaruh guling di tengah sebagai pembatas mereka berdua. Bevan melirik Rea yang masih membuka matanya.

"Tidur!" ketus Bevan.

"Iya," balas Rea.

"Inget nggak usah geer, gue nggak perhatian sama lo." Bevan tidak mau Rea salah paham.

Rea cukup mengerti ucapan Bevan. "Aku tahu, kakak cuma kasian kan sama aku?"

Bevan menatap langit-langit. "Bagus deh kalau lo sadar."

"Kak, apa aku salah jatuh cinta sama kakak?" Rea menatap lekat Bevan.

Bevan hanya diam tidak menjawab apapun.

"Good night kak." Rea tersenyum kemudian memunggungi Bevan.

'Sorry,' batin Bevan.

Bersambung...



Serpihan LukaWhere stories live. Discover now