•24•

52.3K 2.7K 128
                                    

Jangan lupa kasih love dulu kayak gini 👉❤💛💚👈

~~~


Renald menghampiri Bevan dan langsung memukulinya, ia tidak habis pikir dengan abangnya itu. Bagaimana bisa Bevan membuat Rea hamil padahal jelas-jelas Rea masih SMA.

"Otak lo dimana sih Bang? Kenapa lo terus-terusan nyakitin Rea! Lo gila bikin dia hamil?!" Renald menatap nyalang Bevan.

"Iya, gue tahu gue salah." Bevan sama sekali tidak membantah ucapan Renald.

"Udah gitu doang? Kalau udah kayak gini terus lo mau ngapain?!" Renald menendang perut Bevan.

Bevan diam dan tidak melawan, dia hanya memegangi perutnya.

"Sekarang Rea udah bener-bener hancur, gimana? Lo udah seneng?" Renald melirik Rea sekilas, gadis itu hanya diam dengan tatapan kosong.

"Gue nggak seneng Ren." Bevan baru sadar jika perbuatannya salah.

"Omong kosong! Lo mau sandiwara kayak apalagi?!" sentak Renald.

Renald kembali memukuli Bevan, dan bodohnya Bevan tidak melawan. Luka di wajah Bevan kemaren saja baru sembuh, sekarang sudah ada luka baru. Renald tidak berhenti memukuli Bevan walaupun Bevan sudah terlihat tidak berdaya.

"Renald udah!" Rea memeluk Renald dari belakang.

"Lepasin gue Re, gue mau kasih pelajaran ke dia." Renald berusaha untuk memberontak.

Rea terisak pelan. "Udah Ren, aku nggak suka kamu kasar kayak gini."

Bevan menatap Rea yang sedang memeluk Renald. Rasanya sedikit tidak terima, tapi ia tidak punya hak untuk itu.

Renald berbalik badan, emosinya mulai sedikit reda. "Jangan nangis Re."

"Ayo pergi, aku nggak mau di kamar ini." Rea mengenggam tangan Renald.

Renald menatap Bevan yang masih terduduk di lantai. "Gue akan bilang masalah ini ke Mama sama Papa."

***

Bila menampar Bevan, ia tidak menyangka jika putra sulungnya melakukan hal itu kepada Rea. Bila menatap kecewa Bevan yang saat ini hanya bisa menunduk.

"Bevan, Mama kecewa sama kamu. Kenapa kamu ngelakuin itu?" Bila mencengkeram baju Bevan.

"Maaf Ma." Hanya itu yang mampu Bevan katakan.

"Apa Rea seneng waktu kamu ngelakuin itu? Apa dia setuju?" tanya Bila.

"Nggak," balas Bevan jujur.

"Kamu lihat dia." Bila menunjuk Rea yang sedang menangis. "Kamu tega hancurin masa depan dia? Gimana sama sekolah dia?"

Bagus yang sedaritadi hanya diam kini angkat bicara. "Rea akan homeschooling."

"Nggak! Aku nggak mau Pa!" Sudah cukup Rea diam selama ini.

"Rea, dengerin Papa---"

"Nggak! Aku nggak mau!" Rea pergi dan menaiki anak tangga sambil terus menangis.

Semua menatap punggung Rea yang perlahan mulai menghilang. Renald hanya diam dan mengepalkan tangannya, ia tidak sanggup melakukan apapun. Bila kembali memukuli bahu Bevan.

"Kamu nggak mikir dulu sebelum ngelakuin itu? Kamu nggak mikirin perasaan Rea?!" Bila mendorong pelan tubuh Bevan.

Bagus menghampiri Bila dan memegang bahu istrinya. "Udah Ma."

"Maafin aku Ma, Pa." Ada perasaan bersalah di mata Bevan.

"Minta maaf sama Rea." Bagus kemudian mengajak Bila pergi.

Renald berdiri dan melewati Bevan. "Nggak punya otak lo."

***

Kini Rea duduk di atas kasur, ia tidak berada di kamar Bevan melainkan ia berada di kamar kosong yang ada tepat di samping kamar Renald. Rea memeluk kedua lututnya erat.

"Aku juga pengen sekolah kayak yang lain, kenapa nasib aku jadi kayak gini?" Rea menenggelamkan wajahnya di atas kedua lipatan tangannya.

Bevan berdiri di ambang pintu, Rea memang tidak mengunci pintu itu. Dengan perlahan Bevan berjalan masuk ke dalam kamar.

"Rea ..." Bevan berdiri tepat di samping kasur.

Rea mengangkat kepalanya dan menatap tajam Bevan. "Ngapain ke sini? Pergi!"

"Maaf udah selalu nyakitin lo, gue janji nggak bakal nyakitin lo lagi." Bevan menatap sendu Rea.

"Gue nggak peduli! Pergi lo dari sani! Nyesel gue udah pernah suka sama lo!" sentak Rea.

Bevan tertegun saat Rea merubah gaya bicaranya. "Re ... Gue tahu lo terluka, gue tahu lo nggak mau homeschooling---"

"Diem! Lo nggak tahu apa-apa. Pergi, gue muak ngelihat muka lo!" Tatapan Rea terlihat sangat tajam.

Bersambung...

Serpihan LukaМесто, где живут истории. Откройте их для себя