•39•

40.7K 2.3K 205
                                    

Pagi hari pun tiba, saat ini Rea sedang mandi dan membersihkan tubuhnya. Ia masih mengingat betul hal semalam, Rea dan Bevan melakukan hal itu untuk yang kedua kalinya.

'Semoga kebahagiaan ini nggak akan pernah hilang kak,' batin Rea.

Setelah selesai Rea segera keluar kamar mandi. Tubuhnya mematung sejenak kala ia mendengar Bevan sedang berbicara di telepon dengan Tania.

“Gimana kabar kamu Tan?” Bevan tampak tersenyum.

“.....”

“Aku baik, aku kangen banget sama kamu.”

“.....”

“Tan, aku masih cinta banget sama kamu.”

Dada Rea bergemuruh, dengan perlahan ia berjalan menghampiri Bevan. Rasanya masih tidak percaya jika Bevan mengatakan hal itu.

"Kak ..." Jelas sekali raut kecewa tampak di wajah Rea.

Bevan berdecak pelan dan sedikit menutup speaker ponsel-nya. "Apa sih lo! Ganggu aja deh lo!"

Rea tertegun, bahkan ia terkejut saat gaya bicara Bevan telah berubah. 'Kenapa kak Bevan kayak gini?'

Bevan kembali menempelkan ponsel-nya ke telinga. “Iya Tan, biasalah orang nggak penting. Udah dulu ya Tan, nanti aku telepon lagi.”

"Kakak masih cinta sama kak Tania?" Rea berusaha menahan gejolak di hatinya.

Bevan menatap Rea. "Kenapa kalau gue masih cinta sama dia? Nggak suka lo?"

"Kalau emang kakak masih cinta sama kak Tania, harusnya semalem kakak nggak---" Rea tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Mata Rea sudah berair, sekali saja dia berkedip sudah di pastikan air mata Rea akan terjatuh. Rea terluka, dadanya terasa sesak. Ia sama sekali tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya.

"Btw, makasih loh buat yang semalem." Bevan tertawa pelan. "Ternyata bener ya lo itu gampangan."

"Maksud kakak apa?" Kini air mata Rea sudah terjatuh.

"Iya gampangan ... Buktinya di apain aja mau." Tidak ada rasa bersalah yang terlihat di raut wajah Bevan.

"Kak!" Rea sudah tak tahan lagi.

"Apa?!" Tatapan Bevan terlihat tajam.

"Kakak kenapa tega sih sama aku ..." Suara Rea terdengar lemah.

"Udah kalik, nggak usah lebay. Semalem juga lo seneng kan, ya udah sih biasa aja," ujar Bevan.

"Mau kakak apa sih?" Bahu Rea bergetar.

Bevan menatap lekat Rea. "Bikin hidup lo hancur."

Rea memalingkan wajahnya, ia tersenyum walaupun air matanya terus berjatuhan. Rea menggigit bibir bawahnya dan mengusap air matanya menggunakan punggung tangannya.

Isakan kecil keluar dari bibir Rea, perlahan Rea kembali menatap Bevan. Bevan adalah lelaki yang berkali-kali telah menyakiti Rea dan mengukir luka di hatinya.

"Makasih loh kak, kakak udah berhasil. Aku udah hancur ... Banget." Rea mencoba untuk tersenyum.

"Bagus deh, gue seneng kalau lo hancur." Bevan tersenyum miring.

Rea terkekeh. "Aku nyesel udah maafin kakak. Tahu nggak kak? Kakak itu cowok yang nggak punya hati yang pernah aku kenal. Aku yang bego, udah cinta sama kakak."

***

Rea duduk di kursi yang ada di taman belakang rumah, ia menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Bahkan telapak tangan Rea menjadi basah karena air matanya.

Rea sesenggukan, kebahagiaannya telah pergi dan berganti dengan kehancuran. Renald yang baru saja datang langsung duduk tepat di samping Rea.

"Kenapa? Bang Bevan lagi?" Renald menatap Rea.

Rea perlahan menatap Renald. "Kak Bevan udah bener-bener berhasil bikin aku hancur."

Renald menghela nafasnya dan menatap depan. "Kadang gue bingung sama lo Re, kenapa lo tetep cinta sama orang yang berkali-kali udah nyakitin lo."

"Aku emang bodoh Ren, aku bener-bener udah mati rasa." Tatapan Rea terlihat kosong.

"Ya udah lah ngapain juga nangis, nggak guna juga nangis." Renald terlihat santai.

Rea menatap Renald tak percaya. "Kamu kenapa berubah Ren?"

"Gue berubah?" Renald tertawa pelan. "Dari dulu gue juga kayak gini Re."

Rea menatap lekat Renald, biasanya cowok itu selalu menenangkannya dan marah kepada Bevan karena telah menyakiti Rea. Tapi sekarang Renald terlihat berbeda.

"Kamu berubah Ren," ucap Rea.

"Gue nggak berubah, sekarang terserah lo mau masih cinta sama bang Bevan atau nggak," balas Renald.

Rea menatap depan. "Aku nggak tahu lagi harus apa."

"Ya itu terserah lo, udah dulu ya gue mau ketemuan sama Nara." Renald beranjak dari duduknya.

"Kamu nggak mau nemenin aku?" Rea menatap sendu Renald.

"Lo cuma kakak ipar gue, mulai sekarang ada Nara yang harus gue prioritasin." Renald melenggang pergi.

Rea menatap nanar punggung Renald, ia tersenyum miris. Bahkan sekarang Renald telah berubah, dia tidak lagi peduli dengannya.

"Hidup aku lucu banget ya." Rea tertawa pelan, selang beberapa detik tangis Rea kembali pecah.

Bersambung...   

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now