•34•

43.7K 2.5K 70
                                    

Sore ini Rea sedang duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Bevan juga duduk di samping Rea, semenjak baikan hubungan mereka kini semakin dekat saja.

"Lagi pengen sesuatu nggak?" Bevan menggenggam salah satu tangan Rea.

Rea fokus pada layar televisi dan menggeleng pelan. "Nggak."

"Serius nggak lagi pengen apa-apa?" tanya Bevan.

"Nggak kak," balas Rea.

Bevan menunduk untuk menatap perut Rea. "Mungkin dede bayinya lagi mager makannya nggak pengen apa-apa."

Rea tertawa pelan. "Masa belum lahir aja udah mager, gimana kalau udah gede."

"Nggak, anak kita nanti pasti rajin banget kayak gue." Bevan mulai memuji dirinya sendiri.

Rea melirik Bevan. "Situ rajin?"

"Gitu banget nanyanya, iyain kek biar gue seneng," ucap Bevan.

Rea tertawa kala mendengar ucapan Bevan, selang beberapa detik ia kembali fokus pada televisi. Bevan sama sekali tidak tertarik dengan acara televisi yang ada di depannya.

Bevan lebih memilih memainkan tangan Rea yang ukurannya sedikit lebih kecil dari tangannya. Bevan memainkan jari-jari Rea, dan berakhir dengan meremas tangan Rea.

"Kak sakit." Rea meringis pelan.

Bevan menyengir dan menempelkan punggung tangan Rea ke pipi kanannya. "Ya sorry, habis tangan lo kecil. Gemes gue lihatnya."

"Kecil apaan! Tangan kakak yang kegedean!" sewot Rea.

Bevan tertawa sejenak. "Re ..."

"Apa?" Rea menyahut tanpa menoleh.

"Gue boleh tidur di pangkuan lo?" Nada suara Bevan terdengar ragu.

Rea menatap Bevan "Emm ..."

"Nggak boleh ya?" Bevan tertawa. "Kalau nggak boleh gapapa kok."

"Boleh kak, tapi emang kakak mau tidur di pangkuan aku?" tanya Rea.

"Ya mau banget lah," balas Bevan.

Bevan mulai tidur dengan kepala yang di letakkan di pangkuan Rea. Jantung Rea berdebar, untuk pertama kalinya Bevan bersikap manja kepadanya.

Selama menikah Rea dan Bevan tidak pernah melakukan kontak fisik kecuali saat kejadian buruk itu, tentu saja itu karena Bevan membenci Rea dan enggan menerima pernikahan itu.

"Makasih kak." Tanpa sadar air mata Rea jatuh begitu saja.

"Makasih buat apa? Hei, jangan nangis." Tangan Bevan terulur untuk menghapus air mata Rea.

"Makasih udah mau nerima pernikahan ini." Rea benar-benar merasa senang.

"Nggak, gue yang harusnya bilang makasih. Makasih udah maafin gue dan ngasih gue kesempatan," ucap Bevan.

"Kalau seandainya kak Tania balik, kakak bakal ninggalin aku?" Rea menatap sendu Bevan.

"Nggak lah, gue nggak bakal ninggalin lo. Cukup sekali gue nyia-nyiain lo, gue nggak mau nyesel untuk yang kedua kalinya," balas Bevan.

"Serius? Kakak bilang gini cuma karena kak Tania nggak ada kan." Rea menatap lurus ke depan.

Bevan menatap Rea yang kini berada di atasnya, jelas sekali jika sorot mata Rea terlihat terluka. Bevan menyesal karena lebih memilih mempertahankan Tania dan terus-terusan melukai Rea.

"Kalau di suruh milih lo sama Tania, gue lebih milih lo," ujar Bevan.

Rea menunduk. "Iya? Apa buktinya?"

Bevan mengangkat kepalanya sejenak untuk mencium pipi Rea. "Itu buktinya."

"Apa sih, modus mulu!" Semprot Rea dengan kedua pipi yang bersemu merah.

"Modus sama istri sendiri gapapa lah." Bevan tersenyum jahil.

"Aku nggak terima, pokoknya aku mau bales." Rea pura-pura marah.

Bevan tertawa geli dan menunjuk pipinya. "Ya udah sini bales."

"Nggak ah, kakak menang banyak dong." Rea tampak cemberut.

Bevan tertawa lagi dan memeluk perut Rea, entah mengapa istrinya terlihat sangat menggemaskan. Bevan menempelkan wajahnya di perut Rea membuat darah Rea seketika berdesir.

"Kita jangan berantem-berantem lagi ya, entar dede bayinya sedih." Bevan mengecup pelan perut Rea dan menatap Rea.

"Iya." Rea menggigit bibir bawahnya karena gugup.

"Emm ... Re, apa lo mau tidur sekamar sama gue lagi. Tapi kalau lo nggak mau---"

Rea langsung memotong ucapan Bevan. "Aku mau kak."

Bevan tersenyum lebar. "Berarti kita bisa nganu-nganuan dong ya."

Rea melotot galak. "Nganu-nganuan apa?!"

"Tidur bareng Re, lo mah negatif mulu pikirannya," jelas Bevan.

"Omongan kakak yang nggak jelas!" sewot Rea membuat Bevan tertawa kencang.

Bersambung...

Serpihan LukaWhere stories live. Discover now